Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyimak Kisah Kompasianer Yunita Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus

22 Juli 2022   06:26 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:02 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cinta akan menemukan jalannya."

Bagi Kompasianer Yunita Kristianti, ada satu kunci yang membuatnya konsisten meniti perjalanannya bertahun-tahun membina anak berkebutuhan khusus. Kunci itu adalah: cinta.

Yunita percaya bahwa pada dasarnya setiap anak mempunyai kesempatan yang sama, termasuk anak berkebutuhan khusus, atau yang kerap disingkat ABK.

Karenanya, ketika ia berjumpa dengan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Yunita menekankan bahwa yang terpenting dari pendampingan ABK ialah rasa sayang dari orangtua ke anaknya. Itu saja cukup. Dengan rasa sayang, seseorang akan 100x lipat lebih sabar, 100x lipat lebih telaten, dan memiliki semangat pantang menyerah agar Si Buah Hati dapat memiliki masa depan secerah anak lain sebayanya.

***

Perjalanan Yunita dimulai pada tahun 2003. Ketika itu --Nita--- demikian ia akrab disapa, bergabung dengan sebuah lembaga terapis untuk penyandang autisma. Inilah titik awal yang membuatnya banyak berinteraksi dengan ABK, hingga merasa terpanggil untuk terus mengabdi hingga hari ini.

"Mereka (ABK) ini jujur-jujur lho, gak pernah bohong. Sudah begitu rasa empatinya tinggi," kata Yunita.

Meski begitu, pasti ada saja suka duka dalam menjalani. Apalagi saat itu Yunita baru saja lulus kuliah dan pertama kali bekerja.

Pernah pada satu siang Yunita didatangi anak asuhnya. Secara tiba-tiba, entah apa yang terjadi, anak tersebut justru menggigit dada dan punggungnya.

"Sakit sekali, tapi aku tahu aku gak bisa membalasnya, jadi aku hanya bisa lari ke lantai 2 dan ke kamar mandi," kenang Yunita.

Seiring berjalannya waktu, Yunita membuka sentra pelayanannya sendiri di kota tempat tinggalnya, Salatiga. Pusat pelayanan psikologis terpadu buatannya itu diberi nama: Home of PsychE atau disingkat Hope.

Untuk saat ini, Yunita tengah mendampingi 9 ABK dengan dengan karakter, dan penanganan yang berbeda-beda.

Sejak berdiri, Hope memberikan pelayanan sukarela. Yunita menyadari bahwa salah satu faktor yang paling memberatkan adalah mahalnya biaya konsultasi dan terapi. Lewat Hope, Yunita ingin anak ABK dan keluarganya dapat lebih mudah mengakses penanganan yang tepat.

Dalam menjalankan Hope, Yunita banyak mendapat banyak dukungan dan bantuan dari rekan-rekannya yang memiliki visi yang sama dalam pelayanan karitatif. Misalnya saja, ketika ia membutuhkan assessment dan penegakan diagnosis spektrum autisma tertentu pada anak yang dibinanya, teman Yunita yang berprofesi sebagai dokter memberikan harga khusus di bawah pasaran.

"Misalnya untuk tes butuh 500 ribu, nah teman-teman bisa membantu dengan cukup dengan membayar 300 ribu saja," ujar Yunita.

Biasanya, ia akan menyampaikan kepada orangtua ABK untuk membayar Rp 100.000 saja. Sedangkan sisanya akan dibayarkan oleh Yunita atau dicarikan donasi dari pihak lain. Di lain waktu, ia bahkan tidak mematok bayaran untuk proses pendampingan atau terapi hingga bertahun-tahun. Sesukarelanya saja.

Meski demikian, Yunita tidak ingin orangtua ABK merasa ketergantungan terhadap layanan yang ia berikan. Oleh karenanya, Yunita lebih suka jika orangtua ABK ikut melihat proses terapi yang diberikan. Dengan demikian, orangtua juga bisa berlatih memberikan stimulus secara intens kepada anak.

"Biasanya orangtua diminta menunggu di luar, jadi anaknya hanya diserahkan di dalam ruangan bersama konselornya. Tetapi, yang saya lakukan justru berbeda. Orangtua mesti melihat sendiri seperti apa cara yang dilakukan kepada anaknya. Supaya bisa dipraktikkan di rumah," lanjutnya.

Lagi-lagi, stimulus dari orangtua membutuhkan rasa sayang. "Ibu-ibu sayang anaknya tho? Pasti bisa," demikian Yunita menirukan dirinya saat memberi tahu orangtua ABK.

"Pengetahuan amat penting, menguasai sebuah terapi itu bagus, tapi di luar itu perlu ada cinta untuk bisa menjalaninya," tambahnya.

***

Bagi Yunita, mendidik ABK ini adalah kerja kolaboratif, tidak bisa hanya dilakukan sepihak saja. Tidak bisa hanya dilakukan oleh konselor saja, orangtua saja, tetapi juga harus melibatkan tetangganya, lingkungannya, dan ---yang tak kalah penting--- dukungan sekolah.

Yunita pernah mendengar cerita dari orangtua ABK, anaknya yang seorang penyandang penderita down syndrome (DS), hanya diajarkan menempel saja selama 3 tahun. Orangtua tersebut merasa, perlakuan tersebut sama sekali tidak membantu anaknya berkembang.

Mengenai dukungan sekolah, Yunita mengenang saat ia mendampingi seorang anak bernama Radit yang tinggal di Dukuh Ringinsari, Sampetan, Boyolali, Jawa Tengah. Kini Radit sudah masuk kelas 3 SD di sekolah umum. Tetapi ketika pertama kali berjumpa, Radit masih duduk di bangku TK A.

"Radit diterima dengan baik di sekolah, guru dan teman kelasnya, lingkungan mendukung semua," kata Yunita, menceritakannya dengan senang.

Tetapi pernah satu waktu ketika Radit pulang sekolah, Radit menghampiri ibunya dan menangis. Radit hanya bilang, "Izam pukul, Izam pukul" kepada Ibunya. Hari itu juga, Yunita langsung menanyakan langsung ke sekolah tentang peristiwa yang terjadi pada Radit. Ia menyadari, perundungan terhadap ABK memang jamak terjadi.

"Dunia pendidikan bisa tidak melakukan perundungan kepada ABK," ungkap Yunita.

Selain mengedukasi siswa dan siswi untuk menerima anak yang berbeda, menurut Yunita, pengimplementasian tata laksana pembelajaran pada ABK mampu didik di sekolah-sekolah umum belumlah maksimal. Padahal tata laksananya sudah ada.

"Saya sungguh mengapresiasi guru-guru yang sudah bekerja luar biasa dan banyak menangani ABK," terang Yunita. Pasalnya setiap ABK memang memiliki kondisi spesial sehingga memerlukan cara penanganan yang berbeda dibanding biasanya. Misalnya saja, ABK mungkin perlu diberi waktu 3 kali lebih lama untuk memahami perkalian.

Sekali waktu Yunita pernah meminta ke guru Radit agar Radit diberi keleluasaan untuk menggunakan sempoa dalam menyelesaikan soal matematika dan dizinkan mendengar rekaman untuk menerima pelajaran Bahasa Indonesia. Memang, menurut Yunita, ABK lebih mudah menangkap pelajaran dengan cara melakukan aktivitas/praktik daripada membaca teks.

Yunita berharap ke depannya, pendidik dan manajemen sekolah bisa memperoleh banyak pelatihan mengenai cara mendampingi ABK. Inilah yang disebut sebagai sekolah inklusi.

"Sekarang Radit menjadi ikon di SD-nya," ujar Yunita berbangga. Ia senang karena Radit menjadi siswa contoh yang menginspirasi sekolah tempatnya belajar untuk lebih terbuka pada ABK.

Hidup bersama ABK di Lingkungan Kita

Mengutip keterangan dr. Abdul Munim, Sp.An, Yunita mengatakan saat ini ada 2 juta anak ABK di Indonesia. Dan belum semuanya bisa mengakses layanan konsultasi dan terapi karena faktor ekonomi serta stigma masyarakat yang membuat anak-anak ini enggan untuk berinteraksi dengan orang lain dan pergi ke sekolah dengan teman-temannya.

Padahal anak-anak adalah masa depan kita. Di dalamnya termasuk pula anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu bagaimana nasib ABK ini jika sudah sejak awal ditolak oleh masyarakat dan teman-temannya di sekolah?

Yunita mengakui, pihak keluarga ABK sendiri juga kerap merasa malu atau minder dengan ABK. Proses menerimanya tidak mudah. Apalagi setelah ditolak oleh masyarakat, membangkitkannya kembali semangat orangtua bukanlah proses yang ringan.

"Padahal, ketika diberikan anak ABK, percayalah itu merupakan anugerah. Berarti kita dipercaya lebih," terang Yunita.

Lalu bagaimana cara masyarakat berpartisipasi menciptakan lingkungan yang ramah ABK?

"Sederhana sekali. Diperlakukan seperti anak pada umumnya. Dipangku, disayang," demikian terang Yunita. Membangkitan kepercayaan diri ABK dapat dimulai dari hal-hal kecil. Dengan mengajaknya bermain, membiarkan ia berinteraksi dengan rekan sebayanya, dan lain-lain.

Kompasiana sebagai Katarsis!

Pengalaman Yunita berinteraksi dengan ABK kerap dituangkan Yunita di Kompasiana. Ketika sedang tugas piket di sekolah atau ketika sedang ada waktu luang di sela-sela kesibukannya.

Ia pertama kali mengenal Kompasiana dengan membaca artikel Kompasianer Kris Wantoro.

"Setelah baca-baca, ih, orang ini ikut blog, akhirnya coba-coba, deh," ujar Yunita, menceritakan awal pertemuannya dengan Kompasiana.

Menulisnya juga ketika itu, kata Yunita masih acak-acakan. Menulis apa saja yang ingin dituliskan, karena saat itu Kompasiana justru hadir sebagai katarsis saat sedang stres dan depresi.

"Jadilah kenalan dengan beberapa Kompasianer, pernah juga mengalami depresi, minderan, gak pede, baperan," ungkap Yunita, sambil tertawa.

Nah, lanjutnya, kenal Kompasiana jadi pribadi yang berbeda, jadi katarsis. Setelah itu barulah Yunita mengajak nulis guru-guru lain di sekolahnya.

Bahkan Yunita masih ingat kali pertama mendapat Headline (Artikel Utama) di Kompasiana. Itu merupakan tulisannya ke-50, ditulisnya pun tengah malam: Analogi Croissant dan Tulisan.

"Gak nyangka banget (tulisan) itu jadi headline, buat saya (headline) berarti sekali karena itu self-reward," pungkasnya.

Selain senang menulis tentang perkembangan pendidikan dan fokus kepada ABK, Yunita juga senang menulis fiksi.

"Kalau menulis fiksi karena senang saja, menulis fiksi bisa membuatku lebih merdeka ketika menulis," katanya.

Tidak hanya itu, sejak kecil juga Yunita sudah akrab dengan dunia fiksi, baik dari majalah Bobo hingga bacaan komik. Bahkan sebelum TK bersama adik-adiknya, Yunita suka sekali dibacakan cerita dari majalah Bobo: dari Bona dan Rong Rong hingga cerita Paman Gembul.

"Setiap ingin tidur, Saya selalu dibacakan cerita oleh Ayah saya. Lalu, ada adik di sebelah dan Ibu juga ikut menemani. Menyenangkan sekali ketika itu," tutur Yunita.

Itulah, barangkali, yang membuat Yunita begitu akrab dengan anak-anak, seperti halnya yang pernah didapat ketika kecil dari orangtuanya: kehangatan, cinta, dan kasih sayang.

Nah, di bulan Juli ini Yunita mau menantang Kompasianer semua untuk masuk ke dalam dunianya! Merayakan momen Hari Anak 2022, mari menulis dukungan kepada ABK dan keluarganya!

Yuk refleksikan bagaimana cara kita berinteraksi dengan ABK. Apakah kamu memiliki kiat menciptakan sekolah yang ramah (inklusi) terhadap kebutuhan ABK? Bagaimana seharusnya tata laksana penyelenggaraan sekolah inklusi di Indonesia dilakukan?

Tertarik menjawab tantangan dari Kompasianer Yunita terkait topik ini? Siapkan kontenmu dan tayangkan di Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun