Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyimak Kisah Kompasianer Yunita Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus

22 Juli 2022   06:26 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:02 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yunita pernah mendengar cerita dari orangtua ABK, anaknya yang seorang penyandang penderita down syndrome (DS), hanya diajarkan menempel saja selama 3 tahun. Orangtua tersebut merasa, perlakuan tersebut sama sekali tidak membantu anaknya berkembang.

Mengenai dukungan sekolah, Yunita mengenang saat ia mendampingi seorang anak bernama Radit yang tinggal di Dukuh Ringinsari, Sampetan, Boyolali, Jawa Tengah. Kini Radit sudah masuk kelas 3 SD di sekolah umum. Tetapi ketika pertama kali berjumpa, Radit masih duduk di bangku TK A.

"Radit diterima dengan baik di sekolah, guru dan teman kelasnya, lingkungan mendukung semua," kata Yunita, menceritakannya dengan senang.

Tetapi pernah satu waktu ketika Radit pulang sekolah, Radit menghampiri ibunya dan menangis. Radit hanya bilang, "Izam pukul, Izam pukul" kepada Ibunya. Hari itu juga, Yunita langsung menanyakan langsung ke sekolah tentang peristiwa yang terjadi pada Radit. Ia menyadari, perundungan terhadap ABK memang jamak terjadi.

"Dunia pendidikan bisa tidak melakukan perundungan kepada ABK," ungkap Yunita.

Selain mengedukasi siswa dan siswi untuk menerima anak yang berbeda, menurut Yunita, pengimplementasian tata laksana pembelajaran pada ABK mampu didik di sekolah-sekolah umum belumlah maksimal. Padahal tata laksananya sudah ada.

"Saya sungguh mengapresiasi guru-guru yang sudah bekerja luar biasa dan banyak menangani ABK," terang Yunita. Pasalnya setiap ABK memang memiliki kondisi spesial sehingga memerlukan cara penanganan yang berbeda dibanding biasanya. Misalnya saja, ABK mungkin perlu diberi waktu 3 kali lebih lama untuk memahami perkalian.

Sekali waktu Yunita pernah meminta ke guru Radit agar Radit diberi keleluasaan untuk menggunakan sempoa dalam menyelesaikan soal matematika dan dizinkan mendengar rekaman untuk menerima pelajaran Bahasa Indonesia. Memang, menurut Yunita, ABK lebih mudah menangkap pelajaran dengan cara melakukan aktivitas/praktik daripada membaca teks.

Yunita berharap ke depannya, pendidik dan manajemen sekolah bisa memperoleh banyak pelatihan mengenai cara mendampingi ABK. Inilah yang disebut sebagai sekolah inklusi.

"Sekarang Radit menjadi ikon di SD-nya," ujar Yunita berbangga. Ia senang karena Radit menjadi siswa contoh yang menginspirasi sekolah tempatnya belajar untuk lebih terbuka pada ABK.

Hidup bersama ABK di Lingkungan Kita

Mengutip keterangan dr. Abdul Munim, Sp.An, Yunita mengatakan saat ini ada 2 juta anak ABK di Indonesia. Dan belum semuanya bisa mengakses layanan konsultasi dan terapi karena faktor ekonomi serta stigma masyarakat yang membuat anak-anak ini enggan untuk berinteraksi dengan orang lain dan pergi ke sekolah dengan teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun