Untuk saat ini, Yunita tengah mendampingi 9 ABK dengan dengan karakter, dan penanganan yang berbeda-beda.
Sejak berdiri, Hope memberikan pelayanan sukarela. Yunita menyadari bahwa salah satu faktor yang paling memberatkan adalah mahalnya biaya konsultasi dan terapi. Lewat Hope, Yunita ingin anak ABK dan keluarganya dapat lebih mudah mengakses penanganan yang tepat.
Dalam menjalankan Hope, Yunita banyak mendapat banyak dukungan dan bantuan dari rekan-rekannya yang memiliki visi yang sama dalam pelayanan karitatif. Misalnya saja, ketika ia membutuhkan assessment dan penegakan diagnosis spektrum autisma tertentu pada anak yang dibinanya, teman Yunita yang berprofesi sebagai dokter memberikan harga khusus di bawah pasaran.
"Misalnya untuk tes butuh 500 ribu, nah teman-teman bisa membantu dengan cukup dengan membayar 300 ribu saja," ujar Yunita.
Biasanya, ia akan menyampaikan kepada orangtua ABK untuk membayar Rp 100.000 saja. Sedangkan sisanya akan dibayarkan oleh Yunita atau dicarikan donasi dari pihak lain. Di lain waktu, ia bahkan tidak mematok bayaran untuk proses pendampingan atau terapi hingga bertahun-tahun. Sesukarelanya saja.
Meski demikian, Yunita tidak ingin orangtua ABK merasa ketergantungan terhadap layanan yang ia berikan. Oleh karenanya, Yunita lebih suka jika orangtua ABK ikut melihat proses terapi yang diberikan. Dengan demikian, orangtua juga bisa berlatih memberikan stimulus secara intens kepada anak.
"Biasanya orangtua diminta menunggu di luar, jadi anaknya hanya diserahkan di dalam ruangan bersama konselornya. Tetapi, yang saya lakukan justru berbeda. Orangtua mesti melihat sendiri seperti apa cara yang dilakukan kepada anaknya. Supaya bisa dipraktikkan di rumah," lanjutnya.
Lagi-lagi, stimulus dari orangtua membutuhkan rasa sayang. "Ibu-ibu sayang anaknya tho? Pasti bisa," demikian Yunita menirukan dirinya saat memberi tahu orangtua ABK.
"Pengetahuan amat penting, menguasai sebuah terapi itu bagus, tapi di luar itu perlu ada cinta untuk bisa menjalaninya," tambahnya.
***
Bagi Yunita, mendidik ABK ini adalah kerja kolaboratif, tidak bisa hanya dilakukan sepihak saja. Tidak bisa hanya dilakukan oleh konselor saja, orangtua saja, tetapi juga harus melibatkan tetangganya, lingkungannya, dan ---yang tak kalah penting--- dukungan sekolah.