Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyimak Kisah Kompasianer Yunita Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus

22 Juli 2022   06:26 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:02 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal anak-anak adalah masa depan kita. Di dalamnya termasuk pula anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu bagaimana nasib ABK ini jika sudah sejak awal ditolak oleh masyarakat dan teman-temannya di sekolah?

Yunita mengakui, pihak keluarga ABK sendiri juga kerap merasa malu atau minder dengan ABK. Proses menerimanya tidak mudah. Apalagi setelah ditolak oleh masyarakat, membangkitkannya kembali semangat orangtua bukanlah proses yang ringan.

"Padahal, ketika diberikan anak ABK, percayalah itu merupakan anugerah. Berarti kita dipercaya lebih," terang Yunita.

Lalu bagaimana cara masyarakat berpartisipasi menciptakan lingkungan yang ramah ABK?

"Sederhana sekali. Diperlakukan seperti anak pada umumnya. Dipangku, disayang," demikian terang Yunita. Membangkitan kepercayaan diri ABK dapat dimulai dari hal-hal kecil. Dengan mengajaknya bermain, membiarkan ia berinteraksi dengan rekan sebayanya, dan lain-lain.

Kompasiana sebagai Katarsis!

Pengalaman Yunita berinteraksi dengan ABK kerap dituangkan Yunita di Kompasiana. Ketika sedang tugas piket di sekolah atau ketika sedang ada waktu luang di sela-sela kesibukannya.

Ia pertama kali mengenal Kompasiana dengan membaca artikel Kompasianer Kris Wantoro.

"Setelah baca-baca, ih, orang ini ikut blog, akhirnya coba-coba, deh," ujar Yunita, menceritakan awal pertemuannya dengan Kompasiana.

Menulisnya juga ketika itu, kata Yunita masih acak-acakan. Menulis apa saja yang ingin dituliskan, karena saat itu Kompasiana justru hadir sebagai katarsis saat sedang stres dan depresi.

"Jadilah kenalan dengan beberapa Kompasianer, pernah juga mengalami depresi, minderan, gak pede, baperan," ungkap Yunita, sambil tertawa.

Nah, lanjutnya, kenal Kompasiana jadi pribadi yang berbeda, jadi katarsis. Setelah itu barulah Yunita mengajak nulis guru-guru lain di sekolahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun