Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Meriahkan Peringatan Hari Buku dengan Membaca

17 Mei 2018   17:10 Diperbarui: 19 Mei 2019   23:02 2629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutipan larik puisi yang ditulis Heinrich Heine, sastrawan asal Jerman, mungkin lebih kita ingat daripada melihat bagaimana larik puisi itu lahir. Heinrich Heine pada tahun 1821 menulis: "Di mana orang membakar buku, pada akhirnya orang juga membakar manusianya."

Buku-buku berterbangan ke dalam api yang berkobar. Pembakaran buku di Opernplatz di Berlin menjadi puncak pembakaran buku. Sebelumnya para mahasiswa telah menjarah buku-buku dari perpustakaan publik dan universitas. Semua buku yang bertentang dengan ideologi NAZI, ketika itu, diberangus. Baik itu karya penulis atau jurnalis.

Puisi itu menjadi abadi, menjadi catatan sejarah sendiri. Sebab selang beberapa tahun kemudian dari puisi itu lahir terjadi pembunuhan massal oleh NAZI kepada bangsa Yahudi. Holocaust.

Dan setiap perayaan hari buku kutipan larik itu hilir-mudik di layar gawai kita lewat media sosial. Betapa mengerikan.

***

Hari-hari di mana buku kini mempunyai jarak dengan (calon) pembacanya, lalu datang hari buku, kemudian masihkah kita bisa gegap gempita memperingatinya?

Mungkin pertanyaan semacam itu bisa dipermudah dengan pertanyaan lain seperti, buku apa yang terakhir dibaca? Kapan? Butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan buku tersebut?

Pertanyaan semacam itu sering sekali abai, apalagi ketika kalab membeli buku diskonan atau pada pameran bazaar buku. Nasib buku, tentu saja, menjadi pemenuh sudut ruang di rumah sahaja.

Ya. Itu adalah hari-hari di mana buku memiliki masa suram. Barangkali ketika ada peristiwa aksi pembakaran buku lagi, misalnya, barulah bisa merasakan yang-entah-bagaimana-menamainya.

***

Budaya literasi tidak berkembang secara signifikan di kalangan masyarakat Indonesia. Tapi, zaman digital telah datang, begitu cepat, yang bahkan bagi sebagian orang malah akan membuatnya tergagap.

Kebanyakan orang, menurut Irmina Gultom, lebih senang menghemat uang untuk membeli gawai teranyar daripada membeli buku. Tidak mencari kambing hitam. Sebab itulah yang terjadi sekarang.

Tantangan yang muncul kemudian adalah: bagaimana para penulis dan penerbit menyikapi?

E-book memang cenderung lebih praktis ketimbang buku konvensional. Tapi yang lebih penting itu dapat menekan angka produksi buku. Jauh.

"E-Book bahkan bisa didapat beberapa dengan gratis," kata Irmina Gultom.

Namun, biar bagaimanapun juga Irmina Gultom lebih menyukai buku konvensional. Ada 4 alasannya, yaitu:

1. Buku konvensional bisa dibaca di mana saja dan kapan saja tanpa harus khawatir kehabisan baterai gadget.

2. Tidak ada risiko kerusakan mata akibat paparan sinar radiasi gadget.

3. Kecuali sistem data kita secanggih Pentagon, tetap ada risiko hilang jika gadget kita crash atau karena lain hal.

4. Ini mungkin hanya para pecinta buku yang tahu, saya suka sekali dengan bau kertas buku yang baru dibuka dari plastik dan selalu menyukai tampilan buku-buku yang tersusun rapi di rak buku.

***

Menanggapi perayaan Hari Buku Nasional, Tri Hatmoko malah memiliki catatannya sendiri. Semisal, mengutip laporan yang pernah dibuat UNESCO, hanya ada 1 dari 1000 orang di Indonesia yang mempunyai minat baca tinggi.

Tri Harmoko tidak membenarkan atau mengaburkan laporan yang dibuat UNESCO tersebut. Yang kemudian dijadikan sudut pandangnya menjadi: seberapa banyak buku yang dicetak setiap tahunnya?

Indonesia memiliki rata-rata hanya 18.000 judul buku per tahun. Berbeda dengan Jepang yang bisa lebih dari dua kalipatnya, 40.000 judul buku per tahunnya.

Namun ada yang menarik: ketika jumlah buku yang dicetak hanya bisa menghasilkan rata-rata tersebut, tapi angka pertumbuhan penerbit terus naik. Pada 2005, misalnya, penerbit di DKI Jakarta sebanyak 130, tapi pada 2013 angka itu melejit ke angka 290 penerbit. Sebuah paradoks, memang.

Pada akhirnya Tri Hatmoko menyimpulkan: sepertinya perlu dipetakan secara jelas, antara minat baca dengan ketiadaan akses terhadap buku.

Itu jelas, karena seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, toko buku selalu ramai oleh pengunjung, bukan? Entah untuk membeli buku atau peralatan musik atau sekadar menunggu jam mulai bioskop di mal.

***

Manakala perayaan hari buku banyak harapan dan tugas-tugas (terkait) yang mesti diselesaikan. Mila Septian menyarankan, hal-hal kecil bisa dimulai dengan membaca.

Membaca, baginya, dapat menumbuhkan kritis, kreatif dan mmapu menjadi problem solver. Mulainya dari diri sendiri, baru ajak oranglain. Harapnya perayaan Hari Buku Nasional bukanlah formalitas belaka. Mengutip pepatah Jepang, Mila Septian percaya: sini made, benkyo (sampai mati, kita belajar).

Hal semacam itu bisa dimulai seperti apa yang dilakukan Benny Rhamdani: membuat perpustakaan pribadi di rumah.

Awalnya sederhana. Benny Rhamdani mengajak beberapa pengikut di Facebook mengunggah foto rak buku di rumah mereka.

Ada reaksi takk terduga. Dalam beberapa jam setidaknya ada 30 orang yang mengunggah. Lalu ia menyimpulkan: rak buku masih menjadi bagian penting di rumah.

Mempunyai rak buku memang keinginan Benny Rhamdani sejak kecil. Sebagai keluarga militer, keluarganya sungguh mementingkan dan memperhatikan rak buku. Novel-novel milik ibunya, misalnya, terletak di bagian bawah rak, bersama juga dengan majalah dan koran.

Dan mimpi itu lambat laun terwujud. Ketika menikah, secara perlahan Benny Rhamdani membeli rak buku dari ukuran yang kecil hingga ada yang hampir menyentuh langit-langit kamar.

Benny Rhamdani percaya, buku memiliki ceritanya sendiri, di luar isi bukunya sendiri; seperti lemari dan rak bukunya. Hingga kemudian buku-buku itu mesti ia seleksi, dibagikan kepada taman baca masyarakat.

Buku memang memiliki perjalanannya sendiri: sekadar diam di rak atau di tangan-tangan yang haus bacaan di perpustakaan umum. Mari peringati hari buku, sebelum lupa seperti buku yang tidak pernah dibaca setelah dibeli.

(HAY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun