Tri Harmoko tidak membenarkan atau mengaburkan laporan yang dibuat UNESCO tersebut. Yang kemudian dijadikan sudut pandangnya menjadi: seberapa banyak buku yang dicetak setiap tahunnya?
Indonesia memiliki rata-rata hanya 18.000 judul buku per tahun. Berbeda dengan Jepang yang bisa lebih dari dua kalipatnya, 40.000 judul buku per tahunnya.
Namun ada yang menarik: ketika jumlah buku yang dicetak hanya bisa menghasilkan rata-rata tersebut, tapi angka pertumbuhan penerbit terus naik. Pada 2005, misalnya, penerbit di DKI Jakarta sebanyak 130, tapi pada 2013 angka itu melejit ke angka 290 penerbit. Sebuah paradoks, memang.
Pada akhirnya Tri Hatmoko menyimpulkan: sepertinya perlu dipetakan secara jelas, antara minat baca dengan ketiadaan akses terhadap buku.
Itu jelas, karena seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, toko buku selalu ramai oleh pengunjung, bukan? Entah untuk membeli buku atau peralatan musik atau sekadar menunggu jam mulai bioskop di mal.
***
Manakala perayaan hari buku banyak harapan dan tugas-tugas (terkait) yang mesti diselesaikan. Mila Septian menyarankan, hal-hal kecil bisa dimulai dengan membaca.
Membaca, baginya, dapat menumbuhkan kritis, kreatif dan mmapu menjadi problem solver. Mulainya dari diri sendiri, baru ajak oranglain. Harapnya perayaan Hari Buku Nasional bukanlah formalitas belaka. Mengutip pepatah Jepang, Mila Septian percaya: sini made, benkyo (sampai mati, kita belajar).
Hal semacam itu bisa dimulai seperti apa yang dilakukan Benny Rhamdani: membuat perpustakaan pribadi di rumah.
Awalnya sederhana. Benny Rhamdani mengajak beberapa pengikut di Facebook mengunggah foto rak buku di rumah mereka.
Ada reaksi takk terduga. Dalam beberapa jam setidaknya ada 30 orang yang mengunggah. Lalu ia menyimpulkan: rak buku masih menjadi bagian penting di rumah.