Kutipan larik puisi yang ditulis Heinrich Heine, sastrawan asal Jerman, mungkin lebih kita ingat daripada melihat bagaimana larik puisi itu lahir. Heinrich Heine pada tahun 1821 menulis: "Di mana orang membakar buku, pada akhirnya orang juga membakar manusianya."
Buku-buku berterbangan ke dalam api yang berkobar. Pembakaran buku di Opernplatz di Berlin menjadi puncak pembakaran buku. Sebelumnya para mahasiswa telah menjarah buku-buku dari perpustakaan publik dan universitas. Semua buku yang bertentang dengan ideologi NAZI, ketika itu, diberangus. Baik itu karya penulis atau jurnalis.
Puisi itu menjadi abadi, menjadi catatan sejarah sendiri. Sebab selang beberapa tahun kemudian dari puisi itu lahir terjadi pembunuhan massal oleh NAZI kepada bangsa Yahudi. Holocaust.
Dan setiap perayaan hari buku kutipan larik itu hilir-mudik di layar gawai kita lewat media sosial. Betapa mengerikan.
***
Hari-hari di mana buku kini mempunyai jarak dengan (calon) pembacanya, lalu datang hari buku, kemudian masihkah kita bisa gegap gempita memperingatinya?
Mungkin pertanyaan semacam itu bisa dipermudah dengan pertanyaan lain seperti, buku apa yang terakhir dibaca? Kapan? Butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan buku tersebut?
Pertanyaan semacam itu sering sekali abai, apalagi ketika kalab membeli buku diskonan atau pada pameran bazaar buku. Nasib buku, tentu saja, menjadi pemenuh sudut ruang di rumah sahaja.
Ya. Itu adalah hari-hari di mana buku memiliki masa suram. Barangkali ketika ada peristiwa aksi pembakaran buku lagi, misalnya, barulah bisa merasakan yang-entah-bagaimana-menamainya.
***
Budaya literasi tidak berkembang secara signifikan di kalangan masyarakat Indonesia. Tapi, zaman digital telah datang, begitu cepat, yang bahkan bagi sebagian orang malah akan membuatnya tergagap.