Beberapa waktu lalu produsen kopi khas Bogor, Liong Bulan, dikabarkan tutup. Bagi pecinta kopi khususnya kopi lokal, kabar tersebut tentu sangat mengejutkan. Pasalnya tidak ada tanda dan kabar sedikitpun produsen Kopi Liong Bulan akan menghentikan proses produksinya. Kemudian beberapa hari setelah kabar itu berhembus, sebuah postingan di lini masa Facebook muncul guna mengklarifikasi bahwa kabar berhenti berproduksinya Kopi Liong Bulan adalah tidak benar adanya. Sebuah kabar gembira tentu saja. Namun dalam kurun waktu sejak isu berhembus sampai kabar klarifikasi datang, tim editorial Kompasiana yakni Harry Ramdhani sempat menyambangi pabrik kopi yang berlokasi di Nanggewer, Kabupaten Bogor untuk mencari informasi tentang kabar tersebut. Berikut adalah sepenggal kisahnya yang kami buat dalam dua bagian.
(Bagian 1/2)
Kau bersedih ketika kabar penutupan Kopi Liong Bulan itu ramai diperbincangkan. Tiba-tiba kau tidak tahu ingin bersikap bagaimana saat itu juga. Kabar itu datang begitu saja. Tanpa pengantar, lugas dan tajam: Toko kopi bergambar bulan sabit dan naga resmi pensiun alias tidak beroperasi lagi. Begitu tulis sebuah surat kabar terkemuka di Bogor yang kau baca.
Jika merelakan kepergian semudah menerima kebahagiaan kau mungkin tenang-tenang saja. Namun kepergian, seperti yang Sapardi Djoko Damono ceritakan dalam puisi "Aku Ingin" tidaklah seperti itu. Kepergian, yang Sapardi tuliskan, seperti halnya "... isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada kepada hujan yang menjadikannya tiada."
Kau coba menghibur diri. Mengasihani kesedihan sendiri. Kau ingat sebuah idiom lawas: bagi lidah kopi sachet, semua rasa kopi itu sama; yang berbeda hanyalah orang yang menemani saat minum kopinya. Kau senyum-senyum sendiri. Kau tahu itu klise.
Tapi tidak lama setelah kabar penutupan Kopi Liong Bulan itu beredar, ada yang mengunggah tangkapan layar percakapan dengan seorang yang masih satu keluarga dengan pengusaha Kopi Liong Bulan itu. "Engga. Pabrik mah masih jalan seperti biasa. Itu toko adik mama yang jadi agen dan jual eceran Kopi Liong yang tutup. Karena mau pensiun aja, mau menikmati hidup. Udah cape tiap hari harus ke toko." Begitu isi percakapannya.
Bukannya gembira, kau malah jengkel. Kau seperti ditipu. Bukan seperti, tapi benar-benar ditipu. Bercanda atau tidak, bagi kau semua itu sama sekali tidak ada lucu-lucunya. Tidak menarik. Saat itu kau seakan tidak bisa lagi mencerna mana yang fakta dan mana yang fiktif. Semua terjadi hampir bersamaan. Bahkan kalau dilihat dari kapan kabar yang kau terima itu, seakan saling menyusul. Ada yang di depan, yang kau terima terlebih dulu dan ada yang di belakang, yang kau terima sedikit lebih lama kemudian. Terus seperti itu, sampai kau akhirnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri....
***
Dari ujung lini masa Twitter kau bertemu seorang yang senasib sepenanggungan tentang kabar Kopi Liong Bulan itu. Kau ingin mencoba bertemu dengannya, sekadar berbagi kisah dan pengalaman menarik tentang masa-masa kesenangan mencecap segelas Kopi Liong Bulan bersama. Tapi itu urung kau lakukan, kesibukan masing-masing lebih dulu menghalangi kalian.
Namun, nasib berkata lain. Satu waktu kau mendapat kabar kalau orang itu sedang ada pekerjaan dekat dengan kantor tempat kau menyibukkan diri. Kau bertemu dan sadar kalau kelak waktu jua yang akan memisahkan. Kau memanfaatkan seadanya kesempatan itu. Ridwan Remin, namanya, juara 1 Kompetisi Stand-up Comedy Indonesia Kompas TV - Season 7. Ia asli Bogor, seperti halnya Kopi Liong Bulan.
"Bahkan ketika tahu dan ngetweet Kopi Liong Bogor tutup saja itu rasanya sedih," begitu katanya, membuka obrolan.
Kesedihan itu ketika Ridwan Remin coba gambarkan seperti ini: Kopi Liong Bulan itu layaknya sahabat, dari dulu selalu bareng, apa-apa pasti ngopinya Kopi Liong Bulan. Terus tiba-tiba tutup. Kalau sahabat sama-sama sibuk sih mending, masih bisa satu waktu buat ketemu. Lha ini tutup, pergi ninggalin gitu aja. Sedihlah!
Pelan-pelan kau coba mencerna perumpamaan itu. Kau pun merasakan hal serupa. Seperti halnya Ridwan Remin, kau juga sudah lama minum Kopi Liong Bulan. Bahkan kau masih sangat ingat kali pertama kau belajar menyeduh kopi sendiri. Menakar berapa banyak kopi dan gula untuk satu gelas waktu itu. Percobaan pertama tentu saja gagal. Kopi buatanmu kepahitan. Kau juga pernah membuat sampai terlalu manis. Terus dan terus mencoba, hingga akhirnya kau temukan sendiri takaran yang pas. Kopi Liong Bulan dengan rasa yang pahit dan manis yang tertinggal dalam satu kali cecap.
Ridwan Remin tidak ingat kapan tepatnya mulai mencoba Kopi Liong Bulan. Yang jelas, ketika sudah mulai sering nongkrong dengan teman-temannya, kalau ngopi yha kopinya Kopi Liong Bulan. Jika dikira-kira sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Entah di warung dekat sekolah atau warung-warung sekitar rumahnya.
Obrolan kalian makin hangat saat kau tawarkan Ridwan Remin untuk berbagi segelas Kopi Liong Bulan bersama. Ada rasa pahit dari kopi dan ada manis yang muncul dari pertemuan yang lama kalian nantikan.
Sulit memisahkan Ridwan Remin dengan Kopi Liong Bulan memang. Pasalnya, setiap ada undangan untuk mengisi acara stand-up comedy di luar kota ia selalu membekali diri dengan 2-3 bungkus Kopi Liong Bulan. "Untuk jaga-jaga saja. Soalnya di luar kota pasti tidak ada yang jual Kopi Liong Bulan."
Ada dua alasan mengapa Ridwan Remin selalu melakukan itu (1) Kopi Liong Bulan itu selain praktis, juga rasa pas. Bila air saat menyeduhnya terlalu banyak sama sekali tidak berubah, karena Kopi Liong Bulan sangat kental. (2) Tidak terlalu suka kopi-kopi yang ada di kedai kopi 'banget'. Pernah ketika sedang di Jogja Ridwan Remin tidak membawa Kopi Liong Bulan, jadi ia terpaksa ngopi di kedai kopi. Sampai saat memesan ia diberi tahu oleh Barista, kalau kopi itu ada 2 jenis, asem dan pahit. Karena tidak suka kopi yang ditawarkan, maka kopi yang ia pesan, "kopi yang pahit aja, mas, tapi gulanya banyakin."
***
Belum tuntas kejengkelan karena kabar tutupnya Kopi Liong Bulan, ada saja yang kemudian membuat kau semakin jengkel: menemukan penjual Kopi Liong Bulan dengan embel-embel sudah langka. Kau heran, karena baru tadi pagi kau beli Kopi Liong Bulan di warung dan kopi itu ada. Yang menjual pun sempat mengajak bercanda, "udah gak beli se-pack lagi?" Kau melempar senyum terbaik yang kau punya karena belum mandi dan ingin cepat-cepat ngopi: engga, kalau beli yang lima ribu lebih irit.
Bersama kawan kau dari kantor akhirnya kau memutuskan untuk mendatangi langsung pabrik Kopi Liong Bulan dan (anggaplah) silaturahmi; menanyakan ini-itu yang sekiranya perlu. Kalian berangkat pada Jumat siang. Terik panas di kepala dan debu yang menyesakkan dada kalian hadapi di kecamatan Kedunghalang, Kabupaten Bogor. Semestinya, sebagaimana dugaan kawan kau, kalau karyawan pabrik Kopi Liong Bulan akan keluar pabrik dan makan siang, maka disaat itu pula kalian tanya-tanya. Tapi itu semua keliru. Meski sudah menunjukan waktu makan siang, pabrik itu masih menutup rapat pintu pagarnya yang tinggi.
100 meter dari pabrik Kopi Liong Bulan ada warung di pinggir jalan raya dan kalian istirahat di sana. Kau pesan Kopi Liong Bulan, sedangkan kawan kau memesan teh dingin botolan. Berhubung di sana cukup banyak pabrik, di warung itu berdatangan satu persatu karyawan yang istirahat. Ada yang kemudian duduk-duduk dan tertidur karena angin yang lumayan kencang. Ada yang mengeluarkan gadgetkemudian sibuk dengan tayangan YouTube. Beberapa lainnya memesan Kopi Liong Bulan dan mengambil cemilan dari toples plastik.
Tidak ada yang kalian lakukan di sana kecuali melihat keadaan sekitar. Kendaraan lalu-lalang dengan kecepatan yang lumayan kencang. Kebetulan jalanan sedang kosong. Pemilik warung keluar mengeluarkan mangkuk bergambar ayam. Ia menyeberang jalan dan memesan bakso. Tampak menggoda, tapi perut kau sudah kenyang. Kawan kau malah tidak menaruh minat sama sekali pada penjual bakso di seberang. Padahal, siang itu, sepertinya waktu yang tepat untuk mengudap semangkuk bakso pedas. Dari kejauhan terlihat asap yang mengepul manakala panci bakso dibuka. Asap yang tiba-tiba bisa membuat perut merintih diisi.
Setengah jam lebih. Kapi Liong Bulan yang kau pesan sudah adem. Tukang bakso yang tadi di seberang menghampiri warung. Berbincang dengan para karyawan pabrik yang tengah istirahat. Kau mendekati kerumunan itu dan bertanya dalam bahasa sunda, "punten, Mang, anu eta pabrik Kopi Liong Bulan, lain? (permisi, bang, itu pabrik Kopi Liong Bulan, bukan?)" tangan kau sambil menunjuk ke arah pabrik yang dimaksud.
"Iya, Kang. Pabrik Kopi Liong Bulan," jawab tukang bakso.
Kau semakin mendekatkan tubuh tanda menaruh minat atas jawaban tukang bakso itu. Kau mulai menanyakan ini-itu, tentu dengan berbasa-basi terlebih dulu. Ada yang tertawa. Ada yang nyeletuk menambah lucu. Kau mengambil gadget untuk merekam obrolan itu. Kau menyatakan maksud kedatangan kalian ke sini. Mereka saling tatap satu sama lainnya. Kau mulai merasa akan ada yang tidak beres dari gelagat mereka.
"Eta pabrik geus aya keur iraha, Mang?" tanya kau, masih dalam bahasa sunda yang artinya kurang lebih: pabrik itu sudah ada dari kapan?
Geus lila atuh, jawab tukang bakso itu. "30 taun leuwih?" kembali kau tanya. Lebih, kata salah satu karyawan, antusias.
"Pabrik itu kurang lebih bareng sama BSW (singkatan untuk pabrik di mana karyawan itu bekerja). Paling beda setahun lebih dulu," lanjutnya.
Kau mulai menerka kapan kiranya pabrik itu berdiri. Dan ada yang kemudian membuatmu penasaran: daerah yang relatif banyak diisi oleh rumah warga dan pabrik itu, dari mana asal kopi yang digunakan Kopi Liong Bulan?
Tidak lama kau tanyakan itu, tiba-tiba tukang bakso yang tadi meyakini kalau pabrik yang kau maksud adalah pabrik Kopi Liong Bulan, mengelak, "oh, bukan. Itu Pabrik (kopi) Oplet. Iya, kan?" Tukang bakso seakan mencari afirmasi dari karyawan-karyawan pabrik BSW. Tidak ada yang menanggapi.
"Itu pabrik (kopi) Oplet. Nah, selain kopi, di pabrik itu juga produksi mie instan. Namanya mie Apollo."
Kau bingung, mana yang benar: jawaban pertama atau yang barusan dijawab tukang bakso itu? Kau melirik kawan kau yang masih duduk di tempatnya. Asap rokok ia hembuskan dengan asal. Seperti menegaskan bahwa ia kesal.
Dengan mengucapkan terima kasih, kau bangkit dari tempat itu. Kau masuk ke dalam warung untuk membayar kopi dan teh dingin botolan yang tadi dipesan. Sekadar iseng kau bertanya kepada penjaga warung, "teu jual Kopi Oplet, Mang?"
Sambil mengambil kembalian dari kotak kayu di lemari ia jawab, "engga, Kopi Oplet gak laku di sini. Kalau Kopi Liong Bulan masih lumayanlah."
Yang kau dapat siang itu seperti halnya dalam cerpen Puthut EA "Sarapan Pagi Penuh Dusta". Semua yang telah diyakini sejak lama, hancur begitu saja.
***
Butuh waktu sekitar 30 menit dari warung yang tadi kau singgahi menuju --yang katanya-- pabrik Kopi Liong Bulan. Kawasan industri Nanggewer. Dari jalan raya Jakarta - Bogor, butuh sekitar 5 menit jika berjalan kaki. Dekat. Kalaupun tidak ingin jalan kaki, di depan gang jalan masuk menuju ke dalam ada pangkalan ojek konvensional.
Namun, sial seperti mengikuti kau layaknya bayangan. Setibanya di sana pabrik Kopi Liong Bulan tutup. Hanya tepat di depan pabrik itu ada semacam pos jaga petugas Dishub, seorang diri berjaga. Pos Retribusi, begitu tulisan yang terpampang dengan kertas yang dilaminating dan ditempel di tiang payung. Pos tersebut hanya menggunakan sebuah payung tenda parasol dan satu bangku dari kayu yang bisa untuk duduk 3 orang. Tidak lebih. Tugasnya mengambil pungutan yang dikenakan masyarakat --dalam hal ini angkutan yang membawa barang-barang dari pabrik-- yang menggunakan fasilitas dari negara.
Arief. Begitu nama yang tertera di seragam petugas Dishun tersebut. Laki-laki berbadan kurus dan kulitnya sedikit gelap karena (mungkin) sering terjemur cahaya matahari di jalan itu memberitahu kalau pabrik Kopi Liong Bulan tutup. "Bosnya sedang berobat ke Singapura, jadi pabrik tutup dan karyawan diliburkan."
Kau menahan tawa sebisanya. Namun senyum-senyum kecil itu keluar juga dari mulut. Kau heran: kok bisa bos berobat ke luar negeri tapi pabrik tidak produksi?
"Kopi Liong Bulan ya cuma di sini, tidak ada yang lain," ujar Pak Arief. Kau menanyakan juga apa benar Kopi Liong Bulan sempat benar-benar tutup? Ia menggelengkan kepala. "Kalau yang di Bogor mungkin ya, tapi kalau di sini sih tetap produksi," jawab Pak Arief. Kau melongok ke arah pabrik Kopi Liong Bulan itu yang tutup. Ada dua pagar besar dan tinggi yang terlihat dari depan. Pada bagian terdalam pagar itu, ada 3 CCTV terpasang. Ada 2 yang mengarah ke depan dan 1 lainnya mengarah ke samping, tapi sedikit ke atas.
Got di depan pabrik itupun sedikit basah. Tidak ada air yang mengalir. Kau berharap bisa melihat limbah kopi yang digunakan Kopi Liong Bulan. Tapi tidak kau temukan apa-apa. Kau kembali menghampiri Pak Arief. Kau bertanya apa Pak Arief sekiranya tahu jenis kopi apa yang digunakan Kopi Liong Bulan? Ia diam sebentar, seperti sedang mengingat atau berpikir.
"Kopinya dari Lampung, kopi Lampung."
Meski tidak terlalu paham tentang kopi, setidaknya kau tahu dan pernah merasakan kopi Lampung. Dan itu jelas berbeda dengan Kopi Liong Bulan. Memang jauh lebih baik menemui langsung karyawan atau pemilik Kopi Liong Bulan untuk memastikan.
"Tapi coba datang lusa. Siapa tahu bosnya udah pulang dari Singapura," kata Pak Arief. Seakan ia tahu apa yang sedang kau pikirkan itu. "Datang saja. Bosnya baik kok. Nanti bisa tanya-tanya langsung," lanjut Pak Arief.
Kau mengangguk. Tidak lama datang mobil truk melintas. Pak Arief menghampiri mobil itu, memberinya selembar kertas seperti tiket dan menerima uang dari supir itu. Mobil itu pergi dan kau bersama kawan kau itupun ikut pamit.
(bersambung ke bagian 2)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI