Sebagai perempuan dewasa, beberapa perhatiannya sejak tiga bulan dia pindah kerja ke kota lain, Â mulai kurasakan. Aku merasakan perhatian-perhatian kecilnya. Mungkinkah? Tapi aku tidak mau terbuai dengan anganku sendiri.
 Aku membuat susu coklat panas untuk mengusir dingin di badan dan gigil di hatiku.
Telepon genggamku berdering. Mbak Sita?
"Hallo,Mbak?" tiba-tiba cemas menyergapku.Â
"Widya, ada apa dengan Dienara? Dia katakan dia kecewa sama kamu, sudah menunggu lama, tapi kamu malah pergi." Mbak Sita seperti seorang jurnalis mengejar berita, menginterogasi kelakuanku pada adik kesayangan dan satu-satunya itu.
Kuceritakan semuanya termasuk apa yang disampaikan Tanti padaku.Â
"Tahu apa kamu tentang dia, Widya?" Ya, Tuhan kalimat yang sama kudengar untuk kali kedua.
"Sebentar lagi, kamu telpon idolamu itu yang juga diam-diam mengidolakanmu. Kudu minta maaf, hanya itu pesanku, titik," Mbak  Widya tertawa dari seberang sana. Â
Benar, aku menelponnya saat kuhitung kira-kira dia sudah sampai di kota tujuannya. Mas Dien hanya mengatakan, nanti saja kamu minta maaf, kalau aku pulang. Dan aku kabarin kalau aku pulang. Mungkin seminggu lagi aku ambil cuti ada keperluan keluarga. Dan seminggu itu pula, tiba-tiba Dienara seolah-olah tak pernah ingat punya teman bernama Widya. Chatnya sangat jarang.Â
"Hei-hei...kok pada diam-diaman nih," Mbak Sita datang dengan tiga gelas teh manis dan sepiring pisang goreng,hmm..
"Well, katakan saja semuanya,Dienara," kakaknya memecah kebekuan kami.