"Huss..sembarangan," Mbak Sita meninggikan suaranya tanda tak suka. Â Kelihatan lucu kalau dia marah seperti itu karena Mbak Sita itu sangat lembut dan penyabar.
"Tumben bawa mawar segala dirimu?" Mbak Sita melirik mawarkuÂ
"Mawar kuning itulah yang mendorong kakiku kemari sejak tiga hari lalu," ucapku sendu sambil menahan kelu.
"Buat aku? Aku ga ulang tahun sayaaang," dia menjentik hidungku.
"Kata siapa buat kakak?"
"Terus buat siapa dong?" matanya mengerling indah.Â
"Buat aku...," suara yang selama ini kurindukan tetiba mengalir menyapaku hangat.
Seketika aku berdiri, meski badanku merasakan getaran yang hebat. Entah apa nama yang pantas untuk perasaanku saat ini tapi aku berusaha tidak limbung.Â
"Mas Dien, kapan nyampe?" pertanyaan aneh tiba-tiba terlontar begitu saja, padahal nyata-nyata dia kabari kalau kemungkinan pulang tiga hari lalu. Lelaki bernama lengkap Dienara juga janji mengabari kalau memang dirinya jadi pulang, makanya aku selalu kemari sejak tiga hari lalu. Tapi itulah, selalu juga tanpa hasil. Hingga, sore ini...
Mbak Sita yang lemah lembut dan perasa itu seperti paham suasana yang tercipta. Dia memilih pergi ke belakang.
"Kalian di sini ya, aku buatin teh manis deh. Kebetulan tadi buat pisang goreng, " alasan sederhana memberi kesempatan kepada kami untuk berbincang.