Hening menyergap kami. Hanya saling melempar pandang. Suara hatiku terus menggedor memintaku untuk bicara. Harus bicara, harus bicara. Harus.Â
"Mas, Dien, aku datang memenuhi janji," kuberanikan memulai
"Tak ada janji yang harus ditepati oleh siapapun, Widya," balasanya kalem.
" Tidak kamu. Tidak juga aku. Tidak di antara kita," Mas Dienara kali ini tersenyum.
"Tapi,Mas...aku kan sudah janji akan meminta maaf dengan caraku," kuangsurkan mawar kuning dan sebatang coklat. Konon, warna kuning warna yang menyiratkan harapan. Dan sungguh, aku berharap dia memaafkanku.Â
"Untukmu,Mas,"Â
Dia tak menyambutnya, hanya tersenyum.Â
"Letakkan saja di situ, terlihat lebih indah," begitu saja ucapannya.
 Ya, Tuhan...dia masih marah atau dia bahagia? Tak dapat kuterjemahkan artinya, terlalu samar bagiku.Â
Masih terbayang kecewa di hatinya, saat dia pulang ke kota ini seminggu lalu. Mas Dienara memang bekerja di luar kota dan seminggu sekali selalu pulang untuk melepas rindu pada rumahnya yang luas, pada kami teman- teman masa kuliahnya.Â
Walaupun dia kakak kelas setahun di atasku, sementara Mbak Sita kakaknya, beda dua tahun denganku, tapi kami dipertemukan pada kegiatan pers kampus mahasiswa, yang terdiri dari mahasiswa berbagai fakultas. Â Aku dan Mas Dien pada bagian reportase ,sementara Mbak Sita ketika itu dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi pers kampus kami. Mbak Sita memang pantas untuk itu karena dibalik kelembutannya sesungguhnya tersimpan kekuatan, layaknya perempuan-perempuan cerdas lagi cantik. Â Kami berkampus di perguruan tinggi swasta terkenal di kota ini.Â