Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Nasib Pendidikan di Indonesia

2 Mei 2016   11:04 Diperbarui: 2 Mei 2016   12:33 1875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1242354ilustrasi-korupsi1780x390-5726d0d0567b61b405a9b5ed.jpg
1242354ilustrasi-korupsi1780x390-5726d0d0567b61b405a9b5ed.jpg
Ilustrasi korupsi. Megapolitan.kompas.com

Bangsa yang dibangun dengan semangat gotong royong ini akhirnya terdegradasi secara moral dengan perilaku individualistis bernama korupsi. Tapi mungkinkah awal mula budaya korupsi ini muncul akibat keberadaan VOC yang memonopoli dan menjadi bagian hidup manusia selama hampir 200 tahun?

Pertanyaan ini muncul dalam benak Muhammad Haidar Razan kala melihat moral bangsa ini yang semakin tergerus karena tindakan korupsi. Memang tidak ada yang bisa memastikan, namun menurut Haidar ada satu hal yang pasti. Perilaku apapun sangat mungkin untuk dicontoh dan dijadikan bagian dari kehidupan kita.

Melihat pelaksanaan pendidikan saat ini, guru masih sangat sulit untuk bertransisi. Dari guru yang pedagogik menjadi guru yang mampu memancing minat belajar aktif anak. Guru masih menyisakan paradigma bahwa mereka lah sumber segala jenis ilmu dan ini adalah sebuah kesalahan.

Sistem pendidikan satu arah dan meninggalkan anak menjadi pasif adalah sebuah kesalahan besar. Menurut Haidar, ini adalah alasan pertama mengapa sistem pendidikan yang ada kala itu memicu perilaku korupsi. Metode pendidikan yang diterapkan di sekolah membuat anak-anak tidak dibiarkan bertanggung jawab dengan pilihannya.

Alasan kedua adalah pelaksanaan evaluasi pendidikan di sekolah itu sendiri memberikan contoh korup. Target yang telah di-set oleh pemerintah daerah untuk akreditasi pendidikannya tidak sejalan dengan kapabilitas dari guru dan murid.

Pada saat SMA, bahkan guru-guru dan pihak sekolah lah yang telah mengoordinir sumber jawaban UN dan mengakomodasi iuran per bulan untuk membeli kunci jawaban itu kepada seluruh siswa kelas SMA.

Alasan ketiga adalah praktik dari pengadaan pendidikan itu sendiri memberikan contoh korup. Pengadaan buku yang belum merata dan tidak sampai-sampai ke seluruh sekolah, perilaku pihak percetakan yang mencari kesempatan di tengah kesempitan meraup untung dengan menerbitkan buku dan pelatihan guru yang terkesan dipaksakan menimbulkan kesan acak-acakan dan dugaan-dugaan yang negatif.

Kita butuh untuk mengetahui alasan mengapa seseorang melakukan korupsi karena dari situ kita dapat melakukan metode pencegahan dan perbaikan. Untuk dapat menemukan alasan, kita harus mengetahui latar belakang apa yang mendasarinya. Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi perilaku koruptif seseorang dan itu akan sangat sulit jika ditelisik satu per satu.

4. Mengunyah Kembali Pendidik-(an) Kita

b4724aede9eb49a99e053bb0d757d2b8-5726d11fec967303107049ae.jpg
b4724aede9eb49a99e053bb0d757d2b8-5726d11fec967303107049ae.jpg
Orang tua siswa dan guru harus bersinergi. print.kompas.com

Cita rasa dunia pendidikan yang disuguhkan untuk kita hari ini terasa begitu hambar. Dari berubahnya takaran, resep, hingga adanya pengurangan bumbu-bumbu orientalis membuat pendidikan kita berubah bentuk dari warna dan rasanya. Pendidikan kita begitu dingin hingga membuat lidah menjadi cepat ngilu dan kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun