Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Nasib Pendidikan di Indonesia

2 Mei 2016   11:04 Diperbarui: 2 Mei 2016   12:33 1875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan di Indonesia. edukasi.kompas.com

Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ini adalah momentum yang sangat tepat untuk melihat refleksi pendidikan di Indonesia saat ini.

Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959. Meski ditetapkan pada tahun 1959, peringatan Hardiknas secara efektif mulai dilaksanakan pada tahun 1967. Kala itu pengakuan besar atas jasa Ki Hadjar Dewantara dalam melaksanakan sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Presiden Soeharto.

Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional yang kita jalankan saat ini. Saat ini kita lebih banyak mencontoh dan mengacu pada sistem pendidikan negara lain. Padahal, Ki Hadjar Dewantara dahulu menginginkan sistem pendidikan kita berakar dari budaya, kebiasaan dan norma Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Lalu apakah sistem pendidikan di Indonesia saat ini adalah salah? Belum tentu. Karena tentu saja sistem pendidikan juga harus mengikuti arus dan perkembangan zaman. Namun tetap harus berpacu pada benang merah, tujuan dan arah, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang 1945.

Pandangan-pandangan tentang pendidikan di Indonesia kemudian menjadi beragam. Banyak sekali yang menuangkan ide, gagasan serta pemikiran, termasuk Kompasianer. Dan berikut ini adalah beberapa pandangan perihal pendidikan di Indonesia yang kami kumpulkan sejak tahun lalu.

1. Kemerosotan Moral Merajalela, Kemanakah Pendidikan Karakter Selama Ini?

170115620150904abn051780x390-jpg-5726d08daf7a61490620a67a.jpg
170115620150904abn051780x390-jpg-5726d08daf7a61490620a67a.jpg
Tawuran anak sekolah. megapolitan.kompas.com

Tampaknya permasalahan pendidikan masih saja mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Jangankan fasilitas dan prasarana, pendidikan budi pekerti dan kualitas SDM masih saja kurang. Memang, apa yang disurvei di salah satu lembaga di dunia yang mengatakan, "Kualitas pendidikan Indonesia, terburuk di dunia" telah terbukti dan benar adanya.

Itulah sebuah pandangan yang dilontarkan Nahariyha Dewiwiddie pada sebuah artikel yang ia tulis setahun lalu. Ia melihat bahwa kualitas pendidikan yang buruk ini menghasilkan orang yang kerap bertindak kriminal.

Menurut Dewi, ada beberapa penyebab yang melandasi hal ini. Pertama, pembatalan kurikulum 2013 dan nasib program pendidikan karakter. Pada Kurikurum 2013, para siswa tidak hanya dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, ada penyisipan pendidikan karakter yang didasarkan oleh nilai-nilai baik dan luhur yang diwariskan nenek moyang.

Memang tepat, mengingat saat ini generasi muda Indonesia sedang berada dalam 'masa-masa' kritis karena kemerosotan moral. Namun setelah diterapkan beberapa tahun, kurikulum ini dibatalkan dan kembali ke KTSP.

Kedua, media yang tidak lagi dipercaya. Yang tidak kalah pentingnya, pengaruh media sudah merasuki pengaruh anak-anak dan remaja saat ini. Sedikit sekali tayangan yang menawarkan pendidikan edukatif untuk anak dan remaja di masa sekarang, bahkan lebih buruk dari era sebelumnya.

Sebenarnya inilah yang menjadi tantangan bagi stasiun televisi yang menawarkan sisi edukasi. Tidak hanya pada nilai pendidikan dan kebudayaan tetapi juga karakter bangsa yang baik di setiap tayangannya.

Ketiga, menjadi guru dan orang tua berarti harus menjadi panutan. Tantangan guru di era modern ini semakin berat. Para guru di zaman sekarang harus serba bisa, tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, mengoperasikan komputer, bisa menulis, dan lain sebagainya.

Konsep pendidikan di zaman sekarang, tidak seperti pendidikan pada zaman dahulu. Itulah hakikat guru yang sebenarnya, digugu lan ditiru. Begitu pula dengan orang tua. Tantangan dan tugas orang tua tidak kalah pentingnya dengan para guru.

2. Renungan Tujuan Pendidikan

1223452copy-of-img-4420780x390-5726d0ab177b618b161b939d.jpg
1223452copy-of-img-4420780x390-5726d0ab177b618b161b939d.jpg
Ilustrasi pendidikan. kompas.com

Nopa Ariansyah memiliki sebuah pandangan. Menurutnya, ketika kita sering mendengar dari orang-orang tua bahwa kita harus sekolah yang pintar dan sekolah yang tinggi agar suatu saat kita bisa menjadi orang, menjadi manusia. Agak menggelikan sedikit dalam pikirannya.

Pendidikan memang merupakan kegiatan utama dalam proses humanisasi. Manusia dilahirkan untuk selalu berkembang di lingkungannya. Berbeda dengan hewan yang harus menerima nasib dilahirkan seperti itu lalu menyesuaikan diri dengan habitatnya.

Merunut dari pendapat para ahli pendidikan bahwasannya memang kita dilahirkan sebagai manusia, namun belum dianggap sebagai manusia yang seutuhnya. Kita harus menjalani proses pemanusiaan manusia, humanisasi.

Proses humanisasi sangat berkaitan dengan pembentukan karakter dan budaya pada diri seseorang menjadi seorang manusia seutuhnya.

Memang kita ditakdirkan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan hidup akan terpenuhi bila kita bekerja. Untuk mendapatkan pekerjaan yang layak kita membutuhkan pendidikan yang tinggi.

Mengutip pendapat dari Buya Hamka yang mengatakan bahwa, “Kalau hidup hanya sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja cuma sekadar bekerja, kera juga bekerja”. Yang jadi pembeda adalah mereka tidak berpendidikan.

3. Reformasi Pendidikan: Mendidik Manusia Anti Korupsi, Memperbaiki Bangsa

1242354ilustrasi-korupsi1780x390-5726d0d0567b61b405a9b5ed.jpg
1242354ilustrasi-korupsi1780x390-5726d0d0567b61b405a9b5ed.jpg
Ilustrasi korupsi. Megapolitan.kompas.com

Bangsa yang dibangun dengan semangat gotong royong ini akhirnya terdegradasi secara moral dengan perilaku individualistis bernama korupsi. Tapi mungkinkah awal mula budaya korupsi ini muncul akibat keberadaan VOC yang memonopoli dan menjadi bagian hidup manusia selama hampir 200 tahun?

Pertanyaan ini muncul dalam benak Muhammad Haidar Razan kala melihat moral bangsa ini yang semakin tergerus karena tindakan korupsi. Memang tidak ada yang bisa memastikan, namun menurut Haidar ada satu hal yang pasti. Perilaku apapun sangat mungkin untuk dicontoh dan dijadikan bagian dari kehidupan kita.

Melihat pelaksanaan pendidikan saat ini, guru masih sangat sulit untuk bertransisi. Dari guru yang pedagogik menjadi guru yang mampu memancing minat belajar aktif anak. Guru masih menyisakan paradigma bahwa mereka lah sumber segala jenis ilmu dan ini adalah sebuah kesalahan.

Sistem pendidikan satu arah dan meninggalkan anak menjadi pasif adalah sebuah kesalahan besar. Menurut Haidar, ini adalah alasan pertama mengapa sistem pendidikan yang ada kala itu memicu perilaku korupsi. Metode pendidikan yang diterapkan di sekolah membuat anak-anak tidak dibiarkan bertanggung jawab dengan pilihannya.

Alasan kedua adalah pelaksanaan evaluasi pendidikan di sekolah itu sendiri memberikan contoh korup. Target yang telah di-set oleh pemerintah daerah untuk akreditasi pendidikannya tidak sejalan dengan kapabilitas dari guru dan murid.

Pada saat SMA, bahkan guru-guru dan pihak sekolah lah yang telah mengoordinir sumber jawaban UN dan mengakomodasi iuran per bulan untuk membeli kunci jawaban itu kepada seluruh siswa kelas SMA.

Alasan ketiga adalah praktik dari pengadaan pendidikan itu sendiri memberikan contoh korup. Pengadaan buku yang belum merata dan tidak sampai-sampai ke seluruh sekolah, perilaku pihak percetakan yang mencari kesempatan di tengah kesempitan meraup untung dengan menerbitkan buku dan pelatihan guru yang terkesan dipaksakan menimbulkan kesan acak-acakan dan dugaan-dugaan yang negatif.

Kita butuh untuk mengetahui alasan mengapa seseorang melakukan korupsi karena dari situ kita dapat melakukan metode pencegahan dan perbaikan. Untuk dapat menemukan alasan, kita harus mengetahui latar belakang apa yang mendasarinya. Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi perilaku koruptif seseorang dan itu akan sangat sulit jika ditelisik satu per satu.

4. Mengunyah Kembali Pendidik-(an) Kita

b4724aede9eb49a99e053bb0d757d2b8-5726d11fec967303107049ae.jpg
b4724aede9eb49a99e053bb0d757d2b8-5726d11fec967303107049ae.jpg
Orang tua siswa dan guru harus bersinergi. print.kompas.com

Cita rasa dunia pendidikan yang disuguhkan untuk kita hari ini terasa begitu hambar. Dari berubahnya takaran, resep, hingga adanya pengurangan bumbu-bumbu orientalis membuat pendidikan kita berubah bentuk dari warna dan rasanya. Pendidikan kita begitu dingin hingga membuat lidah menjadi cepat ngilu dan kaku.

Itulah yang diutarakan Dhimas Kaliwattu dalam ulasannya. Ia menilai ada banyak sekali permasalahan pendidikan di Indonesia. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan hingga tidak jelasnya model dan arah pendidikan yang kini diselenggarakan.

Bahkan ia menilai, pendidikan kita memang terbang tinggi, meroket sendirian dan meninggalkan anak-anak yang ingin meraihnya.

Pendidikan yang sekarang sangat jauh dari nilai ketimuran. Moralitas serta kebijaksanaannya menurun drastis. Bahkan berdasarkan data yang didapat Dhimas dari Litbang Kompas, banyak orang tua yang mengeluhkan anaknya ternyata susah diatur dan sangat mudah membangkang. Artinya ada yang salah dari sistem pendidikan kita.

Guru adalah posisi krusial dalam pendidikan. Oleh karena itu kesejahteraan guru harus diperhatikan. Namun kesejahteraan guru tampaknya masih jauh dari harapan. Banyak guru yang pagi mengajar, sore ngojek dan malam berjualan. Masih banyak guru yang tidak mendapat kesejahteraan yang layak.

Dalam rangka mengisi ruang-ruang kemerdekaan dan masa pembangunan indonesia, maka harus dilipatgandakanlah semangat juang si-guru tersebut.

Pendidik kita harus dibekali dengan iman dan ilmu yang kemudian mengamalkan dengan ikhlas pada didiknya. Guru harus berupaya agar anak yang dididiknya lebih pintar dan lebih hebat dari dirinya.

5. Hardiknas 2015 Masih Ingat Pancasila?

1614352upacara-inklusi780x390-5726d17a2f97731a056cd0d4.jpg
1614352upacara-inklusi780x390-5726d17a2f97731a056cd0d4.jpg
Anak berkebutuhan khusus menjadi pembawa Pancasila. Kompas.com

Pancasila memang sudah diajarkan selama 12 tahun di sekolah negeri ini. Bahkan sampai ke Perguruan Tinggi, Pancasila terdapat dalam kurikulum pada Semester I sebagai mata kuliah wajib.

Artinya generasi muda Indonesia yang mendapat kesempatan mengecap pendidikan nasional sudah hapal apa itu Pancasila. Memory permanent anak muda yang hanya berpeluang duduk di SD pun pastilah hapal urutan ke 5 sila Pedoman Bangsa Indonesia.

Namun menurut Thamrin Dahlan akibat Pancasila hanya diajarkan seadanya maka jangan heran bila masyarakat masih menyaksikan huru hara yang disebabkan oleh oknum pelajar atau mahasiswa.

Tawuran antar pelajar masih sering terjadi di mana mana. Pelajar menganggap anak anak dari sekolah lain sebagai lawannya. Tampaknya pelajar itu mendapat warisan perseteruan antar sekolah yang berdekatan.

Belum lagi bentuk kenakalan remaja pada penyalahgunaan narkoba, geng motor dan perbuatan asusila serta perbuatan lain yang tidak sesuai dengan norma-norma Pancasila.

Alangkah indahnya apabila masyarakat bisa menyaksikan tingkah laku murid SD, Pelajar SLTP, Siswa SLTA, dan Mahasiswa Perguruan Tinggi sesuai dengan Pancasila.

Inilah kondisi faktual yang terpapar di hampir tingkat pendidikan Indonesia. Para pendidik sebagai sokoguru pendidikan tampaknya harus bekerja keras lagi membina anak didik sejalan dengan tingkat kesejahteraan yang diberikan pemerintah sudah memadai untuk hidup yang layak.

Bukanlah suatu capaian muluk bila program dimulai dengan memberikan contoh akurat kepada para anak didik bagaimana menerapkan 45 butir Pancasila di lingkungan sekolah.

Jadi kosa kata Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila bukanlah sekadar wacana. Tahun 2016 atau setahun kemudian masyarakat akan menilai apakah tema Hardiknas 2015 hanya salah satu omong kosong pemerintah. 

---

Itulah beberapa pandangan Kompasianer tentang pendidikan di negeri ini. Bagi Anda yang memiliki pandangan, ide atau gagasan lain mengenai pendidikan atau seputar Hardiknas, sila bubuhkan label Hardiknas pada artikal Anda. (YUD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun