“Bicara khilafah, bicara negara Islam, apakah negara Islam yang sebenarnya? Apakah konsep negara Islam hanya negara yang pernah pernah kalian coba terapkan di Afghanistan? Lebih menunjukkan kekerasan alih-alih kasih sayang. Lebih banyak berisikan kebencian dan permusuhan alih-alih kasih sayang dan kecintaan. Jika seperti itu, kalian sejatinya sedang merendahkan Tuhan.”
7. Eks Gafatar: Kami Puasa Setiap Hari
Ali Anshori berkunjung ke Desa Pelempai Jaya, Kecamatan Ella Hilir tempat pengikut Gafatar tinggal. Di sana ia menemukan sebuah kitab yang berisikan Tafsir Wata’wil. Barangkali dari sanalah pemahaman mereka tentang agama memang berbeda dari lima agama yang diakui di Indonesia.
Ia bertemu dengan salah satu penduduk, namanya: Mudiah. Mudiah sudah dua tahun bergabung (sebelum organisasi itu dibubarkan) dengan Gafatar. Ali Anshori pun mewawancarainya:
“Salat kami ya melakukan kebaikan itu, maaf buat apa kita salat tapi masih melakukan kejahatan, puasa kami juga seperti itu, kami bahkan puasa setiap hari, namun puasa kami ya melakukan kebaikan,”
8. Menuduh Radikal Itu Mudah (Menilik Kasus Gafatar)
[caption caption="Sumber Gambar: toonpool.com"]
Akhirnya ia menilik polemik tersebut dengan pemahaman yang sebenarnya terhadap “radikal”. Radikalisasi menggunakan kekerasan fisik yang secara gradual semakin tereskalasi baik dari segi bentuk tindakan maupun intensitasnya. Dalam prosesnya terjadi perubahan keyakinan, pikiran dan tingkah laku.
“Adapun mereka mantan anggota Gafatar hanya ingin bertani karena meyakini krisis pangan akan terjadi (faktanya krisis pangan memang terjadi, sesuai dengan penelitian LIPI). Setidaknya mereka berpikiran maju dibandingkan yang lain karena mengantisipasi krisis pangan.”
9. Cap Sesat Gafatar dan Dilema Kemanusiaan
[caption caption="foto: Devi Lahendra"]
Atas aksi pembakaran itu, Jumardin Akas mempertanyakannya, paling tidak kepada dirinya sendiri.
“Atas dasar apa sisi kemanusiaan kita terlangkahi? Kuasa dari mana kita merasa berhak untuk menghakimi?”
10. Gafatar dan Pikiran Bawah Sadar
Endro S Efendi mencoba melihat aksi pembakaran di pemukiman pengikut Gafatar dengan sikap bawah sadar. Di mana ia melihat lima cara untuk menembus alam bawah sadar tersebut: Pertama, pesan yang disampaikan oleh seseorang dengan figur otoritas yang tinggi. Kedua, ide dengan muatan emosi yang tinggi. Ketiga, repetisi ide. Keempat adalah identifikasi kelompok, dan terakhir kelima adalah dengan relaksasi pikiran.