Mohon tunggu...
Ali Anshori
Ali Anshori Mohon Tunggu... Freelancer - Ali anshori

Bekerja apa saja yang penting halal. Hobi olahraga dan menulis tentunya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eks Gafatar: Kami Puasa Setiap Hari

25 Januari 2016   19:43 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:43 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eks Gafatar belakangan ini menjadi perbincangan hangat warga di Kalimantan Barat, termasuk di Kabupaten Melawi. Karena di kabupaten berjuluk kota Juang ini ada sekitar 900 lebih jiwa eks gafatar yang tersebar di beberapa tempat.Secara organisasi Gafatar ini memang sudah resmi dibubarkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun silam, namun mereka masih membawa pemahaman lama yang diduga telah melenceng dari al quran dan hadist.

Saat melakukan kunjungan ke Desa Pelempai Jaya Kecamatan Ella Hilir saya juga menemukan buku yang menjadi rujukan mereka. Buku tersebut bertuliskan arab, dengan bunyi Tafsir Wata’wil. Di balik sampulnya ada tanda tangan tokoh besar mereka Ahmad Mossadeq. Warga juga menemukan satu kitab yang merupakan kumpulan tiga agama, islam, ksriten dan yahudi, namun sayang saya tidak melihatnya secara langsung.

Dari wawancara yang saya lakukan dengan warga eks gafatar, pemahaman mereka tentang agama memang berbeda dari lima agama yang diakui di Indonesia. Yang muslim tidak lagi menjalankan salat lima waktu, demikian juga dengan yang beragama lain. Akan tetapi mereka mengamalkan satu ajaran yang merupakan gabungan dari tiga agama tadi.

“Salat kami ya melakukan kebaikan itu, maaf buat apa kita salat tapi masih melakukan kejahatan, puasa kami juga seperti itu, kami bahkan puasa setiap hari, namun puasa kami ya melakukan kebaikan,” kata Eks Gafatar bernama Mudiah.

Mudiah sendiri bergabung dengan Gafatar sudah dua tahun. Dia mengikuti kepercayaan tersebut atas kesadaran sendiri bukan karena dipaksa atau ada iming-iming tertentu. Dia juga merasa nyaman berada di lingkungan tersebut karena menurutnya baik.

“Ibadah itu intinya kan melakukan kebaikan, bukan menggunakan simbol-simbol gerakan tertentu, kami merasa nyaman dengan ini, dan kami juga tidak pernah melakukan kejahatan,” ceritanya.

Namun dia tidak menjelaskan lebih jauh tentang apa yang diajarkannya. Begitupun saat saya tanya bagaimana mereka menikah dengan ajaran seperti itu. Dia mengaku tidak tahu, karena sejak dua tahun bergabung bersama kelompok gafatar dia belum menyaksikan ada eks gafatar yang menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun