Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

11 Cerita yang Tersisa dari Polemik Gafatar

28 Februari 2016   15:37 Diperbarui: 28 Februari 2016   16:11 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bicara khilafah, bicara negara Islam, apakah negara Islam yang sebenarnya? Apakah konsep negara Islam hanya negara yang pernah pernah kalian coba terapkan di Afghanistan? Lebih menunjukkan kekerasan alih-alih kasih sayang. Lebih banyak berisikan kebencian dan permusuhan alih-alih kasih sayang dan kecintaan. Jika seperti itu, kalian sejatinya sedang merendahkan Tuhan.”

7. Eks Gafatar: Kami Puasa Setiap Hari

Ali Anshori berkunjung ke Desa Pelempai Jaya, Kecamatan Ella Hilir tempat pengikut Gafatar tinggal. Di sana ia menemukan sebuah kitab yang berisikan Tafsir Wata’wil. Barangkali dari sanalah pemahaman mereka tentang agama memang berbeda dari lima agama yang diakui di Indonesia.

Ia bertemu dengan salah satu penduduk, namanya: Mudiah. Mudiah sudah dua tahun bergabung (sebelum organisasi itu dibubarkan) dengan Gafatar. Ali Anshori pun mewawancarainya:

“Salat kami ya melakukan kebaikan itu, maaf buat apa kita salat tapi masih melakukan kejahatan, puasa kami juga seperti itu, kami bahkan puasa setiap hari, namun puasa kami ya melakukan kebaikan,”

8. Menuduh Radikal Itu Mudah (Menilik Kasus Gafatar)

[caption caption="Sumber Gambar: toonpool.com"]

[/caption]Banyak pernyataan yang dikritisi Rosa Longi Folia dari polemik yang terjadi pada Gafatar. Semisal: “Gafatar adalah organisasi berbahaya yang menyebarkan paham radikal dan harus diberantas”; “Pengikut-pengikut Gafatar ingin memecah persatuan dan kesatuan NKRI untuk membentuk negara sendiri”.

Akhirnya ia menilik polemik tersebut dengan pemahaman yang sebenarnya terhadap “radikal”. Radikalisasi menggunakan kekerasan fisik yang secara gradual semakin tereskalasi baik dari segi bentuk tindakan maupun intensitasnya. Dalam prosesnya terjadi perubahan keyakinan, pikiran dan tingkah laku.

“Adapun mereka mantan anggota Gafatar hanya ingin bertani karena meyakini krisis pangan akan terjadi (faktanya krisis pangan memang terjadi, sesuai dengan penelitian LIPI). Setidaknya mereka berpikiran maju dibandingkan yang lain karena mengantisipasi krisis pangan.”

9. Cap Sesat Gafatar dan Dilema Kemanusiaan

[caption caption="foto: Devi Lahendra"]

[/caption]Ada yang lebih mengusik Jumardin Akas di balik sesatnya Gafatar: sisi kemanusiaan rasanya teriris. Mereka seakan lupa, dengan tindakan arogan dengan dasar sesat itu telah mudah menyulut emosi. Apalagi terkait keagamaan. Efeknya, anak-anak dan bayi-bayi mungil tak berdosa harus menanggung akibatnya.

Atas aksi pembakaran itu, Jumardin Akas mempertanyakannya, paling tidak kepada dirinya sendiri.

“Atas dasar apa sisi kemanusiaan kita terlangkahi? Kuasa dari mana kita merasa berhak untuk menghakimi?”

10. Gafatar dan Pikiran Bawah Sadar

Endro S Efendi mencoba melihat aksi pembakaran di pemukiman pengikut Gafatar dengan sikap bawah sadar. Di mana ia melihat lima cara untuk menembus alam bawah sadar tersebut: Pertama, pesan yang disampaikan oleh seseorang dengan figur otoritas yang tinggi. Kedua, ide dengan muatan emosi yang tinggi. Ketiga, repetisi ide. Keempat adalah identifikasi kelompok, dan terakhir kelima adalah dengan relaksasi pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun