"JANGAN-JANGAN, yang datang ke tokonya Rusli itu emang kamu ya? Jujur aja Chuang." Teman-temannya mendesak.
"Tidak. Justru kalian yang tidak tahu bahaya yang mengancamku. Kalian tahu, itu artinya usiaku tidak akan lebih dari tujuh hari lagi."
"Lha, kok bisa?" Semuanya terperangah.
"Sosok yang ditemui Rusli itu adalah Doppelgaenger asliku. Ia sudah ada di dunia ini."
**
CHUANG terduduk lemas. Ia masih enggan mencuci peralatan masak yang masih berserakan di dapur Rumah Bakmi Hao. Setelah teman-temannya pulang, Chuang masih menyisakan banyak pikiran. Jika Doppelgaenger-nya sudah muncul, artinya hidupnya di dunia ini sisa tujuh hari lagi. Kendati demikian, ia masih bisa bernapas lega. Perhitungan itu belum dimulai seandainya ia belum bertemu langsung dengan sang Kembaran.
"Ah, masih ada waktu," gumam Chuang dalam hati, ia mencoba menghibur dirinya sendiri.
"Chuang!!! Bersihkan dapur!" Mamanya berteriak dari lantai dua yang juga berupa rumah tempat tinggalnya.
"Sabar, Ma!" Chuang membalas teriakan mamanya dengan tidak kalah kerasnya.
Chuang, putra semata wayang. Ia punya hubungan khusus dengan mamanya. Ia adalah anak yang berbakti, itu sudah pasti. Sejak papanya meninggal 30 tahun yang lalu, tiada lagi yang menarik perhatian si Mama kecuali melihat Chuang tumbuh kembang dengan kualitas terbaik.
Mama Chuang adalah seorang wanita perkasa. Rumah Bakmi Hao adalah rintisannya. Itu setelah ia kehilangan suami yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Sejarah Rumah Bakmi ini memang unik. Dimulai dari kisah sang Bunda yang tidak tahu memasak.
Entah apa yang merasukinya, Chuang sangat suka bakmi. Itu sedari kecil. Bakmi apa saja, yang penting terbuat dari terigu, bentuknya panjang-panjang, dan berwarna kuning. Saking senangnya Chuang makan bakmi sehingga ia selalu merengek kalau belum mencicipi bakmi.
Saban hari demikian, setiap waktu begitu.
"Anak tidak bisa dimanja," kalimat itu selalu terngiang di telinga Mama Chuang. Tapi, apa daya, segala hidupnya sudah ia berikan kepada Chuang seorang saja. Tidak ada lagi yang lebih penting selain itu. Ia lalu berdalih tidak memanjakan anaknya, hanya membuatnya bahagia.
Namun, tak disangka cinta kepada anaknya justru membawa kebaikan. Begitu pula cinta anaknya kepada bakmi.
Karena tidak memiliki banyak uang, maka sang Bunda selalu hanya membeli bakmi ayam tanpa ayam di gerobak bakmi dekat pasar.
Awalnya si pemilik bakmi mengira kalau itu perkara selera. Tapi, setelah ia tahu kisah sebenarnya, maka ekstra ayam dan jamur selalu tersedia tanpa bayaran. Pertama-tama masih wajar, lama kelamaan Mama Chuang sudah merasa jika ia kurang ajar. Tapi, pemilik gerobak bakmi tidak pernah mau menerima bayaran lebih sang Bunda. Bakmi ayam tanpa ayam selalu tersedia dengan ekstra ayam.
Akhirnya jalan tengah pun ditemukan. Mama Chuang bersedia bekerja sebagai pegawai dengan bayaran apa adanya. Alhasil, ia menjadi kesayangan pemilik gerobak bakmi yang merupakan seorang pria tua yang hidup seorang diri.
Waktu berjalan dengan cepat, tidak ada yang abadi di dunia ini. Si penjual bakmi jatuh sakit. Karena ia hidup sebatang kara, akhirnya Mama Chuang mengajaknya tinggal di rumah bersamanya. Rumah semi permanen dua tingkat, plafon terbuat dari kayu, dan lantai ubin keramik putih model tempo doeloe. Syahdan usaha gerobak bakmi pun berpindah ke lantai satu rumah sederhana itu.
Dan, sejak saat itu gerobak bakmi Hao berganti nama menjadi Rumah Bakmi Hao.
Sekali lagi, sang Bunda adalah seorang wanita tegar. Meskipun hidupnya susah, ia tidak pernah mau berkeluh kesah, apalagi berputus asa. Baginya hidup yang sebenarnya adalah yang ia jalani. Bukan masa lalu atau masa depan.
Ia juga senantiasa menjaga energi positif. Baginya, marah-marah bisa tambah tua. Itu semacam ide yang berasal dari peribahasa kuno, tapi sudah menjadi semacam motto hidupnya.
Alhasil, penampilan Mama Chuang memang terlihat awet muda. Saking mudanya sehingga terkadang ia dianggap sepantaran dengan Chuang yang berwajah boros.
**
CHUANG berdiri dengan lesu. Ia melangkah gontai menutup pintu harmonika ruko Rumah Bakmi Hao. Pikirannya sedang tidak berada di sana, mengembara kemana-mana. Pun pada saat ia mulai mencuci piring. Ia lupa menuangkan sabun pada karet busa untuk menyikat. Lebih parahnya lagi, panci tempat merebus mie, ia onggokkan begitu saja di atas lantai dapur.
Chuang merasa sudah selesai mengerjakan tugas. Dengan terburu-buru ia naik ke atas kamarnya. Ia ingin menyendiri. Hanya ingin sepi sendiri. Sebuah buku ia raih dari rak di atas meja tulisnya. Buku favoritnya yang berjudul; "Inilah Penyebab Wanita Lebih Mudah Masuk Neraka."
Jelas, itu bukanlah buku sembarangan. Chuang tahu itu. Pada sampulnya yang berwarna merah, ada sebuah tulisan kecil "untuk kalangan terbatas, tidak untuk diperjualbelikan." Selain itu, buku itu ia dapatkan dengan cara misterius.
Pada saat itu, entah berapa tahun lalu. Yang jelas sudah lama sekali, Chuang sedang duduk di taman kota sendirian. Lalu, seorang acek-acek (panggilan om bagi orang Tionghoa) datang menghampirinya. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam. Terlihat rapih. Lalu, tanpa basa-basi si Acek berkata kepada Chuang, "Ini buat kamu, gratis."
Chuang senang dengan barang gratisan. Apalagi sebuah buku yang sangat menarik perhatiannya. Judulnya saja sudah sesuai dengan isi hatinya. Tersebab saat itu ia baru saja putus dengan pacarnya.
Chuang tidak mengenal siapa si Acek. Ia tidak terlalu peduli itu. Lagipula si Acek tidak mengajak Chuang mengobrol. Ia langsung pergi sejurus kemudian setelah menyerahkan buku itu.
Chuang juga tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi lagi dengan si Acek. Ia tidak pernah menemuinya lagi.
Tapi dalam versi penulis novel ini, tokoh si Acek adalah seorang suami yang baru saja bertengkar dengan istrinya. Bukan perkara ekonomi, keluarga, atau perselingkuhan. Tapi, gegara buku itu. Â Ya, si Acek ternyata adalah penulis buku itu. Ia adalah penulis buku "Inilah Penyebab Wanita Lebih Mudah Masuk Neraka."
Lalu, mengapa karena buku itu?
Itu karena istri si Acek hanya membaca judulnya. Ia merasa jika suaminya itu mengharapkannya masuk neraka. Padahal, niat si Acek baik. Buku itu berisikan nasihat-nasihat kepada kaum lelaki untuk lebih menghargai istrinya. Rupa-rupanya sang istri adalah korban media ala medsos. Merasa mengetahui isi berita dengan hanya membaca judulnya saja. Istilah kerennya, "penggemar click bait."
Menjadi buku favorit tidak selalu harus dibaca sampai tuntas. Sama seperti istri si Acek, demikian pula Chuang. Ia tidak pernah membaca isinya. Ia hanya suka dengan judulnya saja.
Sebuah buku seyogyanya memiliki banyak fungsi. Mau untuk dibaca atau sekadar menjadi pajangan. Hingga yang paling legendaris, bisa dipakai sebagai penahan pintu.
Akan halnya dengan Chuang, buku favoritnya itu juga berfungsi ganda. Â Selain menjadi semacam pledoi atas pilihannya untuk tetap menjomlo, buku itu juga berfungsi sebagai azimat. Untuk menakut-nakuti siapa pun yang iseng bertanya, "kapan kawin?" Terutama dalam perayaan hari besar, seperti imlek.
**
MALAM itu, Chuang merasa seperti ada sebuah kekuatan yang mengobok-obok perasaannya. Menghadapi kenyataan bahwa hidupnya sudah tidak terlalu lama lagi, sungguh menimbulkan sebuah beban yang berat. Masih banyak hal yang belum ia lakukan. Keliling dunia, pesta pora, mandi susu, mencari istri yang baik, lalu bertobat. Menurutnya, itulah proses alami yang seharusnya terjadi.
Namun, yang terpenting adalah membahagiakan mamanya. Meskipun Chuang belum memikirkan tentang pernikahan, ia tahu jika sang Ibu sangat ingin seorang menantu yang saban hari berseliweran di dalam rumah tokonya. Tentunya yang sabar dan subur. Kalau perlu bisa memberikannya sepasang cucu kembar.
Akhirnya Chuang pun memutuskan untuk memperpendek proses manusiawinya. Lupakan keliling dunia, pesta pora, dan mandi susu. Dalam tempo tujuh hari ia harus sudah kawin, lalu bertobat. Tepat pada saat sang sakratul maut menjemput dirinya.
Chuang memejamkan matanya. Ia terlihat seperti berdoa. Padahal tidak. Ia hanya mengambil waktu sesaat untuk melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah hal besar yang memerlukan usaha ekstra keras. Tekad, keyakinan, semangat, dan juga pengorbanan.
Semuanya akan ia kerahkan pada malam itu. Semuanya akan ia lakukan demi sebuah tujuan mulia;
Membaca buku itu sampai tuntas. []
**
Acek Rudy for Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI