Percakapan berikut ini terjadi di sebuah toilet di pusat perbelanjaan kota Makassar. Saat itu, saya sedang asyik-asyiknya menuntaskan hajat (kecil). Lalu, datanglah dua lelaki tionghoa yang mengambil tempat di sebelah kiri dan kananku. Tentu saja, tanpa harus memasang radar kepo, saya bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka.
Kurang lebih seperti ini;
Pria A: "Kamu, toko apa?"
Pria B: "Saya toko XYZ. Kamu pasti tahu."Â
Pria A: "Oh, tentu. Saya sering membeli barang di sana."
Percakapan pun berlanjut. Masih kisaran dunia usaha dan juga tawar menawar. Saya termenung hingga tetes hajat terakhir. Membersihkan diri dan melongsor pergi.
Sebenarnya, percakapan tentang "kamu toko apa" masih marak terjadi di antara sesama komunitas tionghoa. Setidaknya di kota Makassar. Sebabnya sejak zaman bapakmu, toko adalah identitas bagi orang tionghoa.
"Kamu tidak dikenal sebagai siapa diri kamu, tapi tokomu."
Itulah ucapan papa yang masih terngiang-ngiang hingga kini. Dan, itulah mengapa saya selalu menggunakan embel-embel "toko," setiap kali memperkenalkan diriku. "Rudy, Toko XXX."
Begitu pentingkah identitas toko bagi orang Tionghoa?
Bagi kedua orangtuaku itu sangat penting. Bukan hanya sekadar identitas alternatif, pengganti KTP. Tapi, lebih daripada itu. Sebagai sebuah afirmasi kelas sosial di kalangan orang Tionghoa. Semakin besar tokonya, semakin harum nama seseorang. Membanggakan katanya.
Itulah mengapa Mama misuh-misuh ketika Rika, adikku memutuskan untuk pindah ke AS dan kawin dengan bule. Awalnya, ia sama sekali menolak keinginan Rika. Sebabnya ia berpendapat bahwa di Amerika Serikat, sangat sulit buka toko dan menjadi kaya.
"Lha, kata siapa saya mau buka toko di Amerika?" Begitu kata Rika sambil mendelikkan matanya.
"Lalu, kamu mau jadi apa?" Mama membalas dengan tidak kalah sangar.
"Bekerja di perusahaan."
"Untuk apa kamu menjadi kacung orang asing kalau bisa jadi bos di negara sendiri," pekik Mama sembari melongsor pergi.
Itu kejadian 25 tahun yang lalu. Dan, masih berlanjut hingga kini.
Tahun 2023 adalah tahun pertama Rika kembali ke Indonesia, setelah 4 tahun tidak pulang kampung. Ia sudah menjadi direktur perusahaan di negeri bule. Ketika aku menanyakan gajinya, ia hanya masam-manis saja. Artinya gede. Begitu pikiranku.
Tapi, mama berpikir lain. Baginya gaji Rika masih lebih rendah dari pendapatan tokonya. Meskipun belum tentu demikian. Dan, memang tidak perlu demikian.
Kalaupun gaji Rika seabrek-abrek, masih ada satu hal yang mengganggu pikiran Mama. Baginya, Rika tiada bedanya dengan warga Cina kelas dua lainnya. Citato alias Cina Tanpa Toko. Tentu saja tidak benar.
Rika tidak sendiri.
Reinhard, putra sulungku lebih memilih pekerjaan sebagai professional. Baginya, "buka toko" sudah bukan zamannya lagi. Celana pendek dan kaos kutang sudah seharusnya ketinggalan era. Tidak asyik lagi.
Namun, hal ini belum kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Saya hanya berdalih bahwa Reinhard hanya mencari pengalaman di negeri orang. Padahal, putraku ini sudah hampir pasti tidak akan balik ke Indonesia.
Aku pahami kekhwatiran Mama. Sebenarnya beliau cukup bijak. Pertimbangannya tidak melulu soal gengsi dan status. Ada tiga alasan mendasar.
Pertama. Mereka selalu punya kehwatiran, tidak mau hidup tua tanpa anak-anak di sampingnya. Mereka takut kesepian. Itulah mengapa "Toko" selalu menjadi jembatan untuk mengumpulkan generasi penerus mereka. Tidak jauh-jauh dari dirinya. Setidaknya, masih dalam kota yang sama.
Kedua. Mama selalu mewanti-wanti aku dan kakak untuk menjaga toko yang sudah dirintis keluarga sejak 1969. Lalu, tak lupa untuk mewariskannya kepada anak-anakku. Katanya, "jika tidak ada penerus, sia-sialah semua usaha kakekmu."
Tidak salah juga sih. Aku paham jika yang mama maksud adalah jaringan yang sudah terbentuk. Seperti langganan, supplier, dan keseluruhan rangkaian supply chain, penghasil cuan.
Ketiga. Terkait sejarah. Sebagai orangtua, pengalaman penting untuk diturunkan.
Kembali ke masa lalu.
Bukan rahasia lagi. Warga China tidak punya banyak pilihan dalam mencari nafkah di era Soeharto. Ruang gerak dibatasi, jangankan politik, anggota polisi dan militer pun terbatas. Tidak ada Tionghoa di parlemen. ASN tidak boleh "bermata sipit." Pun halnya dengan urusan-urusan lain dalam lingkar pemerintahan.
Kembali ke masa yang lebih lalu.
Sejak zaman belanda, berdagang sudah identik dengan para pendatang Tionghoa. Itulah peranan mereka saat pertama kali datang ke Indonesia. Pemerintah kolonial pun menyadari itu. Dijadikanlah mereka sebagai perantara jual-beli dengan masyarakat lokal.Â
Jadi, tidak rancu kalau orang Cina dianggap mahir berdagang. Lebih jauh lagi, dianggap sebagai penguasa ekonomi dengan beberapa implikasi negatif yang tertera padanya. Tapi, itu bukan subjek dari artikel ini.
Dengan begitu, tidak heran jika warga Tionghoa selalu identik dengan pemilik toko.
Tapi, zaman telah berubah.
Menjalankan roda ekonomi bukan hanya perkara buka toko saja. Dengan perkembangan teknologi, cukup banyak pedagang yang tidak punya toko. Lihatlah berapa banyak pelaku e-commerce yang tidak memiliki toko fisik, bahkan stok yang langsung siap untuk dijual.
Ini belum termasuk cara mencari uang dengan hal aneh. Hal yang belum masuk di akal orang-orang tua zaman dulu. Contoh yang paling umum seperti menjadi youtubers.
Pun harus diingat. Usaha perdagangan adalah aktivitas tanpa sekat. Meskipun masih didominasi oleh orang Tionghoa, tiada pembatas bagi suku lainnya untuk buka toko.
Kemudian, tidak sedikit anak-anak keturunan Tionghoa yang memiliki pandangan yang agak bertentangan dengan tradisi. Generasi lama selalu memiliki prinsip, kerja keras di atas segalanya. Bahkan jika perlu, waktu dan kesenangan pribadi pun harus dikorbankan.
Generasi baru tidak seperti itu lagi. Bagi mereka, kerja dan rehat adalah dua hal yang harus berjalan seimbang. Bukan berarti mereka loyo, tetapi hanya mendambakan kehidupan yang lebih berkualitas.
Aku pun merenung. Apakah generasi Cina berikutnya akan kehilangan identitas moyangnnya; menjadi Cina Tanpa Toko? Dan jika memang demikian adanya, apakah akan ada pergeseran tradisi dan budaya?Â
Bagi saya sih tidak.
Mungkin ada yang berkata jika urusan ini tidak penting-penting amat. Tapi, bernilai bagiku. Setidaknya akan menjadi bahan olahan untuk kudiskusikan dengan kedua orangtuaku, seandainya anak-anakku benar tidak memilih profesi sebagai pengusaha. Tidak berkeinginan melanjutkan toko warisan keluarga.
Sebabnya zaman telah berubah. Banyak kesempatan di luar sana untuk meraup cuan tanpa harus membuka toko. Selain itu, banyak juga kesempatan untuk hidup berkecupan tanpa harus menjadi pedagang.
Lihatlah sisi baiknya. Bahwa semakin banyak kesempatan bagi warga Tionghoa untuk berkecimpung di masyarakat. Berkontribusi pada bidang yang dulunya "terlarang." Menjadi ASN pun oke, bergabung bersama TNI-POLRI pun baik, berkecimpung di dunia politik juga tidak masalah.
Sisi yang lebih baik lagi, pada akhirnya tidak ada sekat di antara semua warga Indonesia. Siapapun bisa berkontribusi bagi bangsa dan negara, dalam bentuk apa juga, tanpa harus membedakan suku, agama, dan ras.
Oleh sebab itu, menjadi pemimpin pun harus bijak. Janganlah pernah mengatakan bahwa suku tertentu menguasai ekonomi dan "menjajah" bangsa ini. Kekayaan negara ini bukan milik pribadi, golongan tertentu. Tapi, milik seluruh negeri yang akan dinikmati oleh bangsanya sendiri.
 **
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H