Jadi, tidak rancu kalau orang Cina dianggap mahir berdagang. Lebih jauh lagi, dianggap sebagai penguasa ekonomi dengan beberapa implikasi negatif yang tertera padanya. Tapi, itu bukan subjek dari artikel ini.
Dengan begitu, tidak heran jika warga Tionghoa selalu identik dengan pemilik toko.
Tapi, zaman telah berubah.
Menjalankan roda ekonomi bukan hanya perkara buka toko saja. Dengan perkembangan teknologi, cukup banyak pedagang yang tidak punya toko. Lihatlah berapa banyak pelaku e-commerce yang tidak memiliki toko fisik, bahkan stok yang langsung siap untuk dijual.
Ini belum termasuk cara mencari uang dengan hal aneh. Hal yang belum masuk di akal orang-orang tua zaman dulu. Contoh yang paling umum seperti menjadi youtubers.
Pun harus diingat. Usaha perdagangan adalah aktivitas tanpa sekat. Meskipun masih didominasi oleh orang Tionghoa, tiada pembatas bagi suku lainnya untuk buka toko.
Kemudian, tidak sedikit anak-anak keturunan Tionghoa yang memiliki pandangan yang agak bertentangan dengan tradisi. Generasi lama selalu memiliki prinsip, kerja keras di atas segalanya. Bahkan jika perlu, waktu dan kesenangan pribadi pun harus dikorbankan.
Generasi baru tidak seperti itu lagi. Bagi mereka, kerja dan rehat adalah dua hal yang harus berjalan seimbang. Bukan berarti mereka loyo, tetapi hanya mendambakan kehidupan yang lebih berkualitas.
Aku pun merenung. Apakah generasi Cina berikutnya akan kehilangan identitas moyangnnya; menjadi Cina Tanpa Toko? Dan jika memang demikian adanya, apakah akan ada pergeseran tradisi dan budaya?Â
Bagi saya sih tidak.
Mungkin ada yang berkata jika urusan ini tidak penting-penting amat. Tapi, bernilai bagiku. Setidaknya akan menjadi bahan olahan untuk kudiskusikan dengan kedua orangtuaku, seandainya anak-anakku benar tidak memilih profesi sebagai pengusaha. Tidak berkeinginan melanjutkan toko warisan keluarga.