Reinhard, putra sulungku lebih memilih pekerjaan sebagai professional. Baginya, "buka toko" sudah bukan zamannya lagi. Celana pendek dan kaos kutang sudah seharusnya ketinggalan era. Tidak asyik lagi.
Namun, hal ini belum kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Saya hanya berdalih bahwa Reinhard hanya mencari pengalaman di negeri orang. Padahal, putraku ini sudah hampir pasti tidak akan balik ke Indonesia.
Aku pahami kekhwatiran Mama. Sebenarnya beliau cukup bijak. Pertimbangannya tidak melulu soal gengsi dan status. Ada tiga alasan mendasar.
Pertama. Mereka selalu punya kehwatiran, tidak mau hidup tua tanpa anak-anak di sampingnya. Mereka takut kesepian. Itulah mengapa "Toko" selalu menjadi jembatan untuk mengumpulkan generasi penerus mereka. Tidak jauh-jauh dari dirinya. Setidaknya, masih dalam kota yang sama.
Kedua. Mama selalu mewanti-wanti aku dan kakak untuk menjaga toko yang sudah dirintis keluarga sejak 1969. Lalu, tak lupa untuk mewariskannya kepada anak-anakku. Katanya, "jika tidak ada penerus, sia-sialah semua usaha kakekmu."
Tidak salah juga sih. Aku paham jika yang mama maksud adalah jaringan yang sudah terbentuk. Seperti langganan, supplier, dan keseluruhan rangkaian supply chain, penghasil cuan.
Ketiga. Terkait sejarah. Sebagai orangtua, pengalaman penting untuk diturunkan.
Kembali ke masa lalu.
Bukan rahasia lagi. Warga China tidak punya banyak pilihan dalam mencari nafkah di era Soeharto. Ruang gerak dibatasi, jangankan politik, anggota polisi dan militer pun terbatas. Tidak ada Tionghoa di parlemen. ASN tidak boleh "bermata sipit." Pun halnya dengan urusan-urusan lain dalam lingkar pemerintahan.
Kembali ke masa yang lebih lalu.
Sejak zaman belanda, berdagang sudah identik dengan para pendatang Tionghoa. Itulah peranan mereka saat pertama kali datang ke Indonesia. Pemerintah kolonial pun menyadari itu. Dijadikanlah mereka sebagai perantara jual-beli dengan masyarakat lokal.Â