Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Depresi Besar Amerika, Semoga Indonesia Bisa Belajar

6 April 2022   05:21 Diperbarui: 6 April 2022   05:31 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depresi Besar Amerika, Semoga Indonesia Bisa Belajar (gambar: jobs.lovetoknow.com)

Kita sudah sering mendengar kata resesi ekonomi. Suatu negara disebut masuk ke jurang resesi bilamana aktivitas ekonomi memburuk. Pertumbuhan ekonomi negatif dan menurunnya Produk Domestik Bruto selama lebih dari tiga kuartal berturut-turut.

Indikatornya biasanya terlihat dari banyaknya pengangguran, lesunya penjualan ritel, penurunan pendapatan, hingga pabrik yang mengalami kesulitan berproduksi.

Indonesia juga sudah pernah mengalaminya, yang pertama pada 1963.

Saat itu kebijakan ekonomi dinilai tidak tepat, belanja negara membengkak, mengakibatkan hiperinflasi. Barang-barang naik hingga ratusan persen. Situasi diperparah juga oleh kebijakan politik yang tidak populer.

Resesi Ekonomi kedua di Indonesia terjadi pada periode 1998. Momen yang sama dengan kejatuhan Soeharto. Sebagian pembaca mungkin masih mengingatnya.

Harga barang menjulang, mata uang rupiah terpuruk, sistem perbankan ambruk, dan kerusuhan dimana-mana.

Meskipun, menurut sebagian orang periode 1998 sudah bisa dikatakan sebagai Depresi. Namun, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Depresi Besar Amerika Serikat alias The Great Depression.

Peristiwa ini terjadi selama sepuluh tahun (1929-1939). Dampaknya bukan hanya di Amerika saja, tapi juga merembes ke Eropa dan Amerika Selatan.

The Roaring 20's

Sebelum Depresi Besar ini terjadi, pertumbuhan Ekonomi AS tak terkalahkan. Periode tersebut disebut dengan The Roaring 20's.

Ekonomi yang tumbuh besar-besaran membuat pemerintah dan rakyat AS lupa diri. Konsumsi naik berkali-kali lipat, investasi bertumbuh di segala lini, dan spekulasi di pasar saham melejit.

Hampir semua warga AS membeli saham, dengan harapan keuntungan mereka bisa naik berkali-kali lipat. Dari para spekulan hingga petugas kebersihan. Semuanya tergiur.

Pengusaha menggunakan uang pinjaman bank untuk membeli saham, pegawai menghabiskan uang tabungan demi meraup keuntungan.

Padahal di masa itu, gaji di Amerika belumlah terlalu tinggi. Hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Akibatnya harga saham meroket tidak wajar. Melebihi kenyataan akibat tingginya harapan.

Black Thursday dan Black Tuesday

Lalu, pada September 1929 harga saham mulai turun perlahan. Masyarakat panik. Mereka takut jika tabungan mereka terkuras. Puncaknya terjadi 24 Oktober 1929.

Dalam sehari hampir 13 juta lembar saham dilego. Efek domino berlangsung, dalam sehari penurunan harga saham turun sebanyak 11 persen. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Black Thursday.

Lima hari kemudian, Black Tuesday menyusul. Enam belas juta lembar saham kembali berpindah tangan. Mereka yang tadinya masih optimis, sudah mulai meringis.

Depresi Besar Dimulai

Dari sinilah Depresi Besar dimulai. Gabungan yang mengerikan dari krisis pasar saham, krisis ekonomi, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.

Daya beli menurun, investasi menyusut, pabrik-pabrik banyak yang tutup. Akibatnya, pengangguran meningkat.

Kredit macet terjadi dimana-mana. Sebanyak jutaan aset disita, karena pemiliknya sudah tidak mampu lagi membayar cicilan.

Setelah rumah kena sita, tuna wisma pun turun ke jalan. Sistem jaringan sosial Amerika tidak cukup kuat untuk menampungnya.

Krisis Pangan dan Finansial

Lalu krisis pangan di seluruh negeri datang melanda. Petani yang bangkrut tidak mampu lagi mengurus ladangnya. Ditambah lagi dengan musim kering yang panjang, hasil panen tidak maksimal.

Dunia perbankan pun kena imbas. Pada kuartal ketiga tahun 1930 gelombang panik pertama pun datang.

Masyarakat tidak percaya lagi dengan bank. Atau mungkin lebih tepat, memegang tunai dianggap teraman. Penarikan dana besar-besaran terjadi, pinjaman outstanding pun dipaksa untuk dilikuidasi.

Gelombang kedua muncul pada kuartal pertama 1931 sampai kuartal ketiga 1932. Hampir seluruh bank berhenti beroperasi.

Puncak gelombang pertama Depresi berada pada 1933. Angka pengangguran di Amerika mencapai puncak tertingginya. Mencapai 15 juta orang, naik empat kali sejak 1929.

A New Deal

A New Deal, atau Harapan Baru adalah program 100 hari pertama dari Roosevelt yang menggantikan Hoover sebagai presiden Amerika Serikat.

Meskipun pada akhirnya, Depresi Besar masih berlanjut hingga enam tahun kemudian, patut melihat apa yang dilakukan oleh Roosevelt yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh Hoover.

Neraca Perdagangan vs Kenyataan di Masyarakat

Alih-alih menurunkan bantuan agar harga barang murah, Hoover lebih menjaga kestabilan neraca perdagangan. Di saat ekonomi Amerika sedang merana, Hoover bahkan mengenakan bea tambahan terhadap sekitar 900 barang impor.

Aksinya ini menimbulkan reaksi balik dari negara-negara yang kena cukai. Akhirnya barang impor yang masuk ke Amerika menjadi lebih mahal.

Bantuan Likuiditas Bank Hoover vs Roosevelt

Roosevelt mengambil alih sistem perbankan sebagai langkah pertamanya. Seluruh bank diaudit. Yang lemah dilikuidasi, yang masih bisa bertahan diberikan bantuan.

Sebenarnya hal ini sudah pernah dilakukan oleh Hoover menjelang akhir masa jabatannya. Tapi, tidak memberikan dampak signifikan, tersebab bantuan diberikan secara merata tanpa melihat permasalahan yang lebih mendetail.

Konsep Pasar Bebas vs Bantuan Langsung ke Masyarakat

Hoover menolak segala jenis bantuan langsung ke masyarakat. Baginya itu tidak mendidik dan tidak sesuai dengan semangat Amerika.

Masyarakat yang menerima bantuan dianggap malas dan tidak kompeten. Hoover lebih memilih mekanisme pasar bebas.

Harga yang melambung tinggi tetap dibiarkan. Hoover percaya bahwa pasar bebas akan mengoreksi dengan sendiri pada akhirnya. Sayangnya ia salah.

Pegawai Pemerintah vs Pengangguran

Saat angka pengangguran terus naik, Hoover tidak melakukan apa-apa. Tapi, Roosevelt dengan sigap memotong gaji pegawai pemerintah dan militer sebesar 15%.

Anggaran belanja pemerintah non-esensial dipangkas besar-besaran. Kecuali yang bisa berguna bagi hajat hidup orang banyak.

Pembukaan Lapangan Kerja Baru vs Fasisme

Untuk memperkerjakan sekitar 3 juta penduduk, Roosevelt membuka lahan publik. Pemerintahannya mendanai pekerjaan di bidang pendidikan, pertanian, konstruksi, hingga kesenian.

Para petani dan peternak dianggap sebagai tulang punggung ekonomi tidak dibiarkan mati. Pinjaman baru diberikan kepada mereka agar lahan tidak jadi disita.

Para tuna wisma dan orang miskin diberi makan cuma-cuma. Pondokan juga diberikan tanpa perlu usaha lebih. Semuanya gratis.

Sementara pemerintahan zaman Hoover ogah melakukan hal ini. Baginya, gaya yang diambil oleh Roosevelt tidak ada bedanya dengan fasisme di Jerman dan Italia.

Mengorbankan kepentingan kapitalis dengan mengambil langkah sosialis. Negara dipaksa untuk melepaskan idealismenya demi masyarakat yang terkena dampak resesi.

Amerika Serikat bangkit kembali

Roosevelt Terbukti Berhasil. Pada tahun pertama setelah masa pemerintahan Roosevelt, ekonomi AS bertumbuh 10,8%, 8,9%, dan 12,9% selama tiga kuartal berturut-turut.

Namun, apa yang dilakukan Roosevelt sebenarnya tidak semuanya berjalan mulus. Pada 1937, cadangan negara berkurang. Ekonomi negara kembali minus 3,3 persen. Amerika belum pulih seutuhnya.

Tak lama kemudian, Perang Dunia II meletus pada 1939. Fokus pemulihan ekonomi pun berubah ke perang melawan Nazi Jerman di Eropa.

Amerika pun beralih ke penguatan infrastruktur militer AS. Ternyata hal tersebut mendorong produktivitas manufaktur sektor pertahanan Amerika.

Efeknya panjang, perusahaan lainnya juga turut menikmati dari terciptanya banyak lapangan pekerjaan.

Lalu Pearl Harbour dibom Jepang. Dari hanya sebagai pendukung, Amerika pun terlibat langsung. Industri manufaktur semakin subur.

Kendaraan dan senjata perang diproduksi berkali-kali lipat. Semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, Amerika kembali bergairah.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika muncul sebagai pemenang. Solidaritas bangsa dan kepercayaan terhadap negara membuat Amerika mendapat akselerasi penuh dari dalam dan juga luar negeri.

Ironis, Depresi Besar Amerika diselamatkan oleh perang. Pertanyaan yang masih membuat banyak orang penasaran adalah: Apakah Amerika akan lolos dari jurang Krisis jika Perang Dunia II tidak pernah dimulai?

Apapun itu, Depresi Besar Amerika adalah kisah kelam dunia. Negara mana pun di dunia ini berusaha untuk menjauhinya.

Bagaimana dengan Indonesia Saat ini?

Aman tentunya. Setelah mengalami kontraksi selama dua bulan, ekonomi Indonesia tumbuh sejak Kuartal ketiga 2021 hingga kini. Krisis menjauh, Depresi Ekonomi tidak perlu dikhwatirkan.

Indikatornya tidak kelihatan. Ekspor masih lebih tinggi dri impor, utang negara rasionya masih di bawah 60% dari PDB, angka pengangguran tidak tinggi amat.

Tapi, benarkah demikian? Mungkin juga kenyataan di lapangan bukan indikator sebenarnya.

Kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga bahan pokok, harga BBM yang merangkak tinggi, PPN 11% yang berimbas kepada kenaikan harga. Semuanya mengkhwatirkan, tapi mungkin juga tidak.

Mungkin saja neraca perdagangan memang yang terpenting. Sebagaimana yang dilakukan Hoover, menjaga keseimbangan dan memercayai kekuatan pasar bebas yang akan mengoreksi dengan sendirinya.

**

Referensi: 1 2 3 4 5 6 7

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun