Dari sanalah petaka mulai berdatangan. Dimulai dari konflik dengan sebuah hotel di Semarang yang dijadikan markas esek-esek oleh Hartono. Sementara di Surabaya, ia terjerat tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak buahnya.
Utangnya dengan sang konglomerat meroket hingga berpuluh-puluh miliar. Hartono gagal bayar. Planet Bali terancam disita bank. Kasusnya terus bergulir di pengadilan, kendati sempat diam selama dua tahun.
Hartono tidak bergeming. Ia terus bekerja membangun impiannya. Planet Bali pun resmi dibuka pada 1997. Diresmikan oleh Gubernur Bali saat itu.
Ironisnya, hanya dua hari. Pemerintah Bali mempermasalahkan isu esek-esek yang ada di sana. Izinnya harus ditinjau ulang.
Hartono merasa mampu meredam aparat, namun ia lupa jika ada kekuasaan di luar tampuk kekuasaan. Hartono tidak cukup kuat untuk melawan konglomerat itu.
Lantas kasus aborsi yang dilakukan oleh anak buhnya pun menyeret dirinya. Hartono dinyatakan bersalah dan sempat mendekam di LP Kadung Pane di kota Semarang, tempat kelahirannya.
Rumah dan propertinya di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Batam juga turut disita bank. Hartono tidak bisa lagi ditemani para wanita, tidak ada lagi tahta dunia, dan hartanya pun perlahan lenyap.
**
Kini Hartono telah tiada, namun kisah yang ia wariskan masih menjadi legenda. Bahkan hingga tahun 2000an, namanya masih menjadi jaminan mutu.
Sebuah situs online berhasil mencatut namanya dan meraup ratusan juta rupiah dari para lelaki yang terobsesi dengan kualitas wanita merek Hartono.
Bisnis prostitusi bisa dikatakan sebagai salah satu bisnis tertua di dunia. Hartono berhasil menancapkan kukunya sebagai salah satu legenda di Indonesia.