Pada konsep ini, Jepang berkeinginan menjadi pusat pemerintahan, dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya akan menjadi satelitnya. Negera satelit ini kemudian akan diangkat derajatnya, sehingga bisa menjadi negara yang unggul. Setara atau paling tidak, bisa mengimbangi Jepang.
Timbulnya Mental Rasis
Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Showa. Tepatnya pada saat Kaisar Hirohito memegang tampuk kekuasaan (1926).
Zaman Showa adalah era baru bagi Jepang. Ditandai dengan politik totalitarianis (tidak ada oposisi), ultranasionalis (nasionalisme ekstrim), dan fasis.
Pandangan keunggulan ras ini tiada bedanya dengan konsep Bangsa Arya dari Jeman NAZI. Maksud hati ingin menjadi penyelamat bangsa timur, Jepang tidak bisa memisahkan konsep ultranasionalis mereka dengan mental rasis.
Pada masa itu, keterbukaan di Jepang telah mampu membuat mereka menjadi negara maju berbasis industri dengan militer yang kuat. Terobsesi dengan hasil yang mereka capai, pembentukan blok Asia menjadi impian dari pemimpin untuk mengimbangi kekuatan negara-negara barat.
Setelah berhasil menginvasi Tiongkok, ambisi Jepang menjadi lebih besar lagi. Awalnya kehadiran Jepang di Indonesia membawa harapan, semoga Jepang dapat membantu Indonesia menjadi negara berdaulat.
Tapi, setelah Belanda secara resmi kehilangan gigi di Hindia Belanda, Jepang menggantikannya sebagai penjajah. Tidak ada janji manis seperti yang pernah diudar. Hingga muncullah frasa 3,5 tahun pendudukan Jepang lebih kejam dari 3,5 abad Belanda di Indonesia.
**
Saya sendiri melihat Jepang sebagai sebuah bangsa yang unik. Mereka merupakan perpaduan sempurna dari tradisi konservatif dan pemikiran yang ekslusif.
Di satu sisi, mereka dapat membuktikan eksistensinya di dunia dengan berpegang teguh kepada adat moyang. Namun, pada sisi yang lain, mereka dapat mentransformasikan perbedaan tersebut menjadi keunggulan.