Menurut seorang sahabat Jepang yang pandai bebahasa Indonesia, ada hal tertentu yang terpaksa mereka lakukan di masa lalu.
Kekejaman yang terjadi lebih kepada semacam kepatuhan dan kedisiplinan. Lagipula kebrutalan yang terjadi secara sporadis lebih disebabkan karena situasi lapangan dan tanggung jawab oknum.
Tentunya, pembelaan kawan ini hanyalah alasan. Ia bukanlah ahli sejarah atau agen pemerintah. Namun, mungkin sudah bisa mewakili pendapat sebagian sikap orang Jepang terhadap kasus penjajahan ini.
Ah, klise. Sejarah tidak dapat diubah.
Tapi, bukan berarti kita tidak bisa memaafkan bukan? Untuk itu, marilah kita mencoba mengulik persepsi ini dari sudut pandang orang Jepang. Tanpa menilai. Tanpa menghakimi.
Perang Memang Kejam
Bukan hanya pasukan Dai Nippon, ada juga contoh lainnya. Sebutkanlah NAZI atau kekejaman bala tentara Rusia di Jerman. Tidak kalah mengerikan. Bahkan negara adidaya sekelas Amerika saja memiliki banyak kisah kelam di Irak dan Afghanistan.
Di Indonesia, tentara Belanda juga sadis. Jangan pernah melupakan peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan (1946), atau pembataian Rawa Gede (1947).
Jadi, perang itu memang kejam. Proses dehumanisasi itu lazim terjadi. Pihak musuh, baik militer maupun sipil dianggap sebagai "bukan manusia." Mungkin saja itu perlu untuk membooster moral para tentara.
Namun, fenomena ini harus dibarengi dengan melihat bagaimana sebuah kebudayaan menyikapinya. Begitu pula jika kita berbicara tentang aksi bala tentara Jepang dulu.
Apakah budaya Jepang bisa menjadi jawaban? Sehingga bom atom pun dianggap pantas sebagai hukuman.