Tatemae, yang Tidak Perlu Menangis Meraung-raung
Ojiri hanya salah satu budaya yang menandakan kesopanan orang Jepang. Dalam buku The Japanese Smile, karya Lafcadio Hearn (quora.com), ia menegaskan bahwa masyarakat Jepang adalah orang yang mampu tertawa dalam duka.
Sastrawan Inggris yang pernah tinggal di Jepang dari tahun 1830-1904 menyatakan bahwa ketulusan orang Jepang, sudah terjadi sejak dulu kala.
Namun, Lafcadio mengatakan bahwa kesopanan ini sebenarnya merupakan sikap dari orang Jepang yang diajarkan untuk tidak terbiasa mengekspresikan sesuatu dengan berlebihan. Kalau gembira tidak perlu terbahak-bahak, begitu pula kalau sedang bersedih, tidak harus meraung-raung.
Intinya adalah berperilaku sopan dengan menghindari konflik. Nama kebudayaannya adalah Tatemae (japanesestation.com).
Konsepnya adalah berperilaku nyaman bagi orang lain. Menghindari konflik yang bisa timbul akibat ucapan, perbuatan, dan kelakuan. Bahkan jika perlu, berbohong (dalam skala ringan) pun dilakukan.
Budaya ini menganut azas bahwa pola pikir mayoritas adalah yang benar. Sebagai contoh, keterlambatan waktu adalah hal yang tabu. Memberikan ketidaknyamanan kepada banyak orang. Oleh sebab itu, haram hukumnya di sana.
Catatan:Â Mengenai budaya tepat waktu ini akan saya bahas dalam artikel terpisah.
Saking pentingnya sebuah majority rule, sehingga tidak jarang orang Jepang mengabaikan kepentingan diri atau keluarganya sendiri. Contoh sederhana, rapat hingga malam larut, atau pulang rumah dalam keadaan suntuk adalah hal yang harus dimaklumi.
Faktor Pendidikan
Sistem Pendidikan di Jepang tergolong unik. Pada periode awal sekolah, tidak ada pengajaran calistung. Berbeda dengan sistem di Indonesia. Kepintaran anak-anak selalu diukur berdasarkan cepatnya mengenal huruf dan angka.