Kasus HW mencatat ada total 21 santriwati yang jadi korban rudapaksa. Semuanya rata-rata masih di bawah umur. Antara 13-17 tahun.
Aksi kriminalnya selama 5 tahun ini menyebabkan 9 santriwati hamil dan melahirkan. Dua di antaranya masih sedang hamil.
Perbuatan HW ini benar-benar biadab. Sebabnya di antara para korbannya, ada 12 gadis yang masih di bawah umur. HW bukan saja pemerkosa, tetapi juga pelaku pedofil.
**
Perbincangan saya dengan seorang sahabat di Taiwan. Ia mengaku kesulitan meminta video wawancara dengan anak kecil untuk proyeknya.
Konon aturan di sana, orang asing tidak bisa sembarangan mengambil foto anak-anak. Harus seizin orangtua pendamping. Itupun masih susah.
"Orangtua Taiwan adalah orang tua yang mudah curiga," pungkas sang kawan.
Alasan orangtua Taiwan ini cukup bisa dipahami. Bukan hanya di sana, atau di sini. Tapi, ancaman pedofil sudah nyata di seluruh dunia.
Pedofil adalah jenis kelainan mental. Pelakunya (umumnya lelaki), tertarik secara birahi dengan anak di bawah umur.
Namun, jangan mengira Anda bisa menilai mereka dari penampilannya. Pedofil sudah membaur dalam berbagai bentuk. Yang mencurigakan belum tentu benar, yang aman bisa saja ancaman.
Lantas bagaimanakah rupa para pelaku pedofil ini? Apakah mereka bisa diidentifikasi secara kasat mata?
Penjelasan Psikologi
Para pelaku pedofil umumnya tidak bisa dibedakan. Beberapa dari mereka mampu membaur. Namun, secara psikologis mereka adalah orang-orang yang tertekan. Pada umumnya adalah pribadi yang rendah diri, merasa terisolasi, tidak percaya diri, dan memiliki emosi yang tidak stabil.
Mereka kurang nyaman berinteraksi dengan orang sebaya. Para pedofil ini cenderung merasa ditekan, meskipun dalam sebuah percakapan biasa.
Mereka sering mempertahankan diri dengan cara berbohong. Baik mengenai latar belakang ataupun tentang keadaan. Jika merasa tidak nyaman, mereka bisa menjadi sangat agresif.
Sebuah studi yang berjudul Sex Offenders, Clinical Psychology (2001) menjelaskan bahwa tindakan kekerasan seksual pada umumnya dikuasai oleh kemarahaan dan perasaan berkuasa. (nationalgeographic.id)
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa tindakan pemerkosaan pada umumnya dimulai dari sikap permusuhan. Rasa benci kepada korban menjadi pendorong utama.
Namun, dalam kasus pedofil, motif ini sedikit berbeda. Lebih disebabkan oleh distraksi sosial. Pelaku sering merasa tidak nyaman dalam pergaulan dengan teman sebaya.
Lantas, mereka pun terdorong untuk menunjukkan superioritas mereka kepada anak-anak yang dianggap lebih lemah.
Tapi, bisa juga sebaliknya. Pelaku menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang. Mereka menganggap bahwa hanya anak kecil yang memahami nasib mereka.
Jelas ini adalah gangguan kognitif. Para pelaku pedofil salah dalam menerjemahkan arti dari hubungan seksual. Bagi mereka, pemerkosaan itu normal dan tidak agresif.
Bagian Otak
Sebuah penelitian dari Annals of Sex Research menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual memiliki volume otak yang lebih kecil daripada umumnya. (nationalgeographic.id)
Bagian yang lebih kecil ini terletak pada fronto-temporal yang berfungsi untuk membuat perencanaan dan eksekusi. Kendati demikian, kecilnya ukuran bagian otak ini tidak terkait dengan level akademik.
Penemuan ini juga belum bisa dijadikan dasar ilmah. Karena kajian dari seorang psikolog University of Rhode Island, Katelyn T. Kirk-Provencer mengatakan bahwa ciri khas ini juga ditemukan pada penderita skizorenia dan alkoholik.
Ada juga penemuan lain yang mengatakan bahwa kelainan pada fronto temporal dapat berpengaruh kepada sikap agresif lainnya yang bukan seksual.
Sehubungan dengan hal ini, ada frasa otak jahat yang ditelurkan melalui penelitian Dr. Gerhard Roth, seorang professor neurologist dari University of Bremen. (tempo.co)
Ia menyatakan telah menemukan massa gelap di dalam salah satu bagian otak para pelaku kriminal. Bagian yang dapat dilihat melalui pindaian ini konon juga berhubungan dengan bekas cedera atau tumor yang sedang berkembang.
Teori yang sama juga ditelurkan oleh Kent Kiehl, professor psikologi dari University of New Mexico. Ia melakukan scan terhadap 2.000 narapidana. Menurutnya, otak pelaku kejahatan berbeda dengan otak biasa.
Kiehl mencatat peran gen MAOA dalam perilaku kekerasan. Gen tersebut bisa berkembang dalam lingkungan yang keras. Sebagai hasilnya, menyebabkan kepadatan materi pada bagian otak yang berwarna abu-abu.
Tanda Pada Tubuh dan Wajah
Jika diulik lebih jauh, apakah perbedaan pada otak dapat terlihat dari bentuk fisik dan wajah?
Dilansir dari sumber (antaranews.com), sebuah riset dari University of Windsor, Kanada menemukan bahwa 140 orang lelaki pedofil cenderung kidal dan memiliki cacat di kepala yang bernama Minor Physical Anomalies (MPA).
Ciri-ciri fisiknya antara lain seperti kelainan bentuk telinga, langit-langit mulut yang tinggi, atau daun telinga yang terpisah dari kulit rahang.
Bukan hanya pada wajah, penelitian juga menunjukkan bahwa pelaku pedofil memiliki ciri fisik yang berbeda, seperti jarak antara jempol dan jari kedua terlihat renggang, dan ujung jari kaki bengkok.
Ini bukan ilmu membaca wajah atau kutukan. Temuan ini menunjukkan korelasi antara perkembangan saraf dan sifat bawaan dari para pelaku penyimpangan seksual.
**
Kendati demikian, seorang pedofil tidak bisa begitu saja dinilai dari tampang ataupun bentuk tubuhnya. Dalam beberapa kasus, pelaku pedofil justru merupakan orang yang "baik-baik" dan berpenampilan wajar.
Untuk itu, ada bagusnya berhati-hati. Cara yang terbaik adalah mewaspadai orang-orang yang berada di sekitar anak kita. Baik orang asing, maupun pribadi yang sudah dikenal baik.
Dilansir dari sumber (national geographic.id), ada beberapa cirikhas dari pedofil dalam menyasar korbannya.
(1) Suka Memberi Perhatian Khusus.
Bentuk yang paling umum adalah berbagi hadiah. Namun, hadiah tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, tapi untuk dibagi. Seperti sekotak coklat yang dimakan bersama.
(2) Mengarahkan Anak Jauh dari Jangkauan.
Beberapa anak akan didorong untuk terpisah dari grupnya. Seperti mengajak mereka bermain petak umpet, atau mengajak ke tempat sepi.
(3) Mencoba Menyentuh Anak di Depan Orangtuanya.
Sehingga sang anak berpikir, tidak masalah jika ia disentuh. Bisa saja sentuhan sederhana, atau pelukan.
(4) Memancing Anak dengan Informasi Menarik.
Mereka akan secara diam-diam mengamati kesukaan korbannya. Selanjutnya, korban akan diimingi janji palsu.
(5) Pendengar yang Simpatik.
Pada calon korban mulai percaya dan curhat tentang orangtua atau kawannya, sang pedofil akan menjadi pendengar yang simpatik. Membiarkan sang anak menaruh kepercayaan padanya.
(6) Hubungan Istimewa.
Mereka akan memperlakukan korban sebagai seseorang yang istimewa. Berbagi rahasia penting, sehingga sang anak merasa penting.
**
Para pelaku pedofil bukan hanya orang dewasa saja. Menurut UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1, tentang perlindungan Anak, batasan 18 tahun ke bawah masih tergolong sebagai anak di bawah umur.
Namun pada beberapa kasus, seseorang bisa dikategorikan sebagai pedofil bilamana ia sudah akhil balik dan berhubungan badan dengan anak yang minimal berusia 5 tahun di bawahnya.
Dengan demikian, pelaku pedofil bukan terbatas hanya orang dewasa saja.
Tapi, tidak semua orang dewasa yang menyayangi anak kecil dapat dikategorikan sebagai pedofil. Terkadang ada beberapa orang dewasa yang mengekspresikan kegembiraannya ketika melihat anak kecil.
Pun halnya dengan para pengidap pedofilia. Belum tentu mereka tidak memiliki ketertarikan secara seksual terhadap orang dewasa.
Jadi, cara yang terbaik untuk mencegah anak kita jatuh di tangan para predator adalah dengan memberikan mereka kasih sayang yang tulus. Sesuatu hal yang sebenarnya sudah tidak perlu diingatkan lagi. Wajib diberikan oleh orangtua kepada anak-anak mereka. Â
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H