Pertama karena permintaan. Kawai sudah terlanjur populer. Bisnis sudah semakin besar. Sudah banyak pula pelajar yang terjebak.
Kedua, faktor budaya. Cara orang Jepang melihat konsep seksualitas sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan Shintoism.
Seks bukanlah kejahatan bagi masyarakat Jepang, tapi semacam panggilan alam. Wajar untuk dipenuhi dan diperbincangkan, selama tidak menyakiti sesama manusia.
Baca juga: Jepang Negara Vulgar, Tapi Banyak yang Jijik dengan Seks
Ketiga, masalah klasik. Sebagaimana alasan yang sering ditemukan dari wanita yang terjerumus, tiga alasan klasik ini mendominasi; 1) masalah finansial, 2) pergaulan bebas, dan 3) kesenangan sendiri.
Keempat, masalah hukum. Di Jepang, menggauli anak di bawah umur memang adalah tindak pidana. Tapi, tidak ada aksi tegas dalam pemberantasan.
Dikutip dari sumber (boombastis.com), salah satu penyedia jasa JK ada yang bersebelahan dengan kantor polisi. Para pelaku sindikat bisnis JK sangat lihai dalam mengelabui hukum. Gila memang.
Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...
Dalam bisnis JK, seragam sekolah adalah hal yang penting. Ia adalah simbol seksual bagi para pencinta Kawai.
Bisa saja "kelainan seksual" ini sudah lama terpendam. Namun, semuanya dimulai sekitar tahun 90an.
Adalah tren buru-sera yang melibatkan siswi-siswi sekolah menjual pakaian mereka yang belum dicuci. Termasuknya adalah seragam sekolah, baju renang, dan daleman. Â