"[...] Sepertinya mereka merasa hebat, sehingga bisa melanggar protokol kesehatan [...]."
India mencatat rekor terburuk dalam kasus Pandemi Covid-19, di tahun 2021 ini. Sejak awal pandemi merebak, kasus infeksi telah meningkat hingga mencapai 23,3 juta orang. Sementara jumlah kematian telah mencapai angka 254.917 jiwa (kompas, 12.05.2021)
Ditenggarai badai covid ini berasal dari tiga hal utama, yakni adanya pertemuan massal besar-besaran, rendahnya tingkat vaksinasi, dan munculnya varian baru.
Hal ini juga diperparah dengan sistem medis yang tidak siap, provokasi terselebung dari pejabat negara yang meremehkan prokes, dan juga struktur sosial di India yang telah ada sejak ribuan tahun lalu, yakni sistem Kasta.
Dilansir dari sumber (bbc), Arif Sorayaman Hulu, mahasiswa Indonesia di Rajkot, Gujarat di India Barat memberikan kesaksian bagaimana sistem kasta di India memperparah penyebaran Covid-19.
Arif mengatakan dirinya melihat "fenomena unik" di mana ada keistimewaan bagi kaum kasta atas terhadap protokol kesehatan.
"Sepertinya mereka merasa hebat, sehingga bisa melanggar protokol kesehatan," ujar Arif.
Permasalahan Sejak Ribuan Tahun Lalu
"[...] Dalit adalah yang Tertindas atau yang Tercerai-berai [...]."
Namun, sepertinya pandemi yang menyerang kali ini benar-benar buta. Mereka tidak bisa membedakan derajat manusia. Kaum kasta atas yang merasa superior sejak 1500 tahun silam, kali ini juga tak berdaya.
Kasta atas di India, terutama dari kelompok sosial yang tinggi memang sering mendapatkan keistimewaan. Bukan hanya dari sisi fasilitas negara, tapi juga perlakuan khusus dari masyarakat.
Sebaliknya di sisi yang berbeda, terdapat kaum kasta bawah yang sering disebut dengan Kaum Dalit (kaum paria). Mereka hidup bak di neraka atas perlakuan tidak adil dari pemerintah, maupun masyarakat sendiri.
Dalit adalah golongan, ia bahkan tidak masuk dalam empat tingkatan kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra). Nama Dalit sendiri berarti "yang tertindas" atau "terpecah/tercerai berai."
Praktik Kasta yang Sadis
"[...] Berada di tengah masyarakat, jarang dibicarakan, dan beraksi dalam senyap [...]."
Akhir tahun 2019. Sepasang suami istri di India dirajam massa karena dituduh telah menistakan keluarga. Padahal mereka telah menikah 4 tahun dan sudah memiliki dua anak. Penyebabnya adalah pernikahan beda kasta. Salah satu dari mereka adalah golongan Dalit.
Ini bukan yang pertama. Sebulan sebelumnya seorang mertua menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi menantunya. Putrinya ngotot menikah dengan pria pujaannya. Sayangnya, sang lelaki berasal dari kaum Dalit.
Sejak 1950, praktik kasta telah dilarang di India. Namun tradisi kuno susah dilenyapkan. Sistem ini masih berada di tengah masyarakat, jarang dibicarakan, dan beraksi dalam senyap.
Objek Mainan Politikus
"[...] Kaum Dalit adalah objek penderita, pelengkap gembira [...]."
Kaum Dalit selalu menjadi mainan politikus. Lain di mulut, lain di hati. Siapa pun yang ingin menjadi pemimpin, kampanye mengenai kesejahteraan kaum Dalit selalu menjadi subjek.
Tapi, nyatanya, kaum elit penguasalah yang melegitimasikan diskriminasi. Bagi mereka, kaum Dalit adalah objek penderita, pelengkap gembira.
Salah satu contoh konkrit terjadi pada bulan Mei 2017 di daerah Utter Pradesh. Seorang Menteri BJP dari daerah tersebut ingin berkunjung ke sana. Konon sebelum sehari sebelumnya, sekelompok pejabat partai telah membagikan sabun pada komunitas Dalit. Tujuannya meminta mereka membersihkan diri sebelum sang Menteri tiba. Â
Perkosaan Massal Kaum Dalit
"[...] Jenasah sang wanita langsung disirami bensin dan dibakar seperti sampah [...]"
Sistem Kasta tidak melulu masalah harga diri keluarga. Sudah merambah ke segala lini. Ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan keadilan.
Akhir Tahun 2020. Dilaporkan seorang wanita berusia 19 tahun diperkosa oleh sekelompok pria di negara bagian Uttar Pradesh, India. Wanita tersebut dirawat di rumah sakit selama dua minggu hingga akhirnya meninggal dunia akibat tulang bagian belakangnya yang hancur.
Empat pemerkosa menjadi tersangka. Didakwa dengan pasal pemerkosaan dan pembunuhan. Tapi, sang wanita yang berasal dari kaum Dalit juga mendapatkan perlakuan tidak adil.
Di malam ia meninggal, polisi membawa jenasah korban ke desanya. Alih-alih diserahkan ke keluarga yang berduka, polisi langsung mencari tempat untuk mengkremasi mayatnya.
Saat pihak keluarga menolak dan menyatakan ingin mengadakan upacara doa bagi almarhum, polisi mengurung mereka di dalam rumah. Jenasah sang wanita langsung disirami bensin dan dibakar seperti sampah.
Perintah tersebut datang dari pemerintah Uttar Pradesh yang dikuasai oleh politisi Partai BJP dari kasta atas. Tujuannya agar media tidak memberitakannya dan partai oposisi tidak membesar-besarkannya.
Beban Ganda Diskriminasi
"[...] Kelompok kasta atas menggunakan kekerasan seksual sebagai alat untuk menegaskan supremasi mereka [...]"
Kejadian ini hanyalah salah satu contoh dari ketidakadilan yang dialami sekitar 80 juta wanita kaum Dalit di India. Sekitar 16% dari total populasi wanita India, mereka harus menghadapi beban ganda diskriminasi.
India masih menjadi negara yang paling tidak aman untuk wanita, menurut survei yang dilakukan oleh Thomas Reuters Foundation. Pada tahun 2019 dilaporkan rata-rata 87 kasus pemerkosaan terjadi setiap harinya.
Sebagian besar adalah wanita Dalit. Namun, angka ini diduga lebih tinggi lagi, tersebab masih banyak kejadian yang tidak dilaporkan. Â
Masalah yang mereka hadapi adalah klasik. Polisi lamban menangani, penguasa meragukan kejadiannya, dan banyak dukungan kepada pelaku kekerasan dari kasta atas.
Bahkan media di India yang didominasi oleh kasta atas selalu mempertanyakan mengapa kekerasan seksual dihubungkan dengan perbedaan kasta.
Dengan kata lain, sebagian pihak berusaha menghapus ketidakadilan kaum Dalit dengan perbedaan kasta. Atau mungkin mengamini bahwa perbedaan struktur sosial adalah budaya yang tidak perlu lagi diperdebatkan.
"Kelompok kasta atas menggunakan kekerasan seksual sebagai alat untuk menegaskan hegemoni dan supremasi mereka," ujar Kiruba Munusamy, pengacara kaum Dalit kepada Time Magazine.
Sudah menjadi budaya yang harus dipertahankan
"[...] kalau kamu seorang Dalit, cucilah gelasmu sendiri [...]"
Seorang kaum Dalit harus siap menjadi objek kekerasan jika berani beraksi layaknya kaum atas. Jangankan naik kuda atau pakai sepatu kulit, mengganti nama di medsos saja bisa kena akibatnya.
Tidak peduli bagaimana tinggi pendidikannya, besar kontribusinya di masyarakat, atau pun betapa berjasanya ia bagi negara, Dalit adalah Dalit.
Dr. Vinod Sonkar adalah salah satu contoh terbaik. Ia adalah seorang yang bergelar PhDÂ di bidang hukum dan menjadi dosen di sebuah kampus ternama di New Delhi.
Dilansir dari sumber (bbc), suatu ketika ia memesan teh di sebuah warung di daerah Rajastan. Pemilik warung menyerahkan tehnya kepada Sonkar sambil menanyakan apa kastanya.
"Aku seorang Dalit," jawab Sonkar.
"Kalau begitu, cuci gelasmu sendiri," kata si pemilik warung.
Sontak saja Dr. Sonkar marah besar. Gelas pun melayang dan pecah menghantam tembok. Suasana riuh menjadi hening.
Dr. Sonkar bahkan tak segan mengatakan jika sistem kasta di India adalah perwujudan dari Apartheid. Mirip dengan Afrika Selatan selama masa penjajahan minoritas kaum kulit putih. Â
Pembalasan Lebih Kejam dari Pembalasan
"[...] Kekerasan bahkan cenderung melonjak setelah kaum wanita Dalit mulai berani bersuara [...]"
Seiring waktu berjalan, masalah ini semakin memprihatinkan. Mata dunia mulai terbuka. Bantuan dari LSM dalam negeri dan internasional mulai menyuarakan masalah sosial ini.
Tapi, bukannya semakin membaik. Penderitaan kaum dalit justru semakin menjadi-jadi. Atas usaha Lembaga Hak Asasi Manusia, beberapa kaum dalit sudah bisa menikmati pendidikan yang layak.
Sayangnya mereka tetap didiskriminasi, sebaik apa pun diri mereka. Seperti pada contoh kasus Dr. Sonkar.
Kekerasan terhadap wanita bahkan cenderung melonjak setelah kaum wanita dalit mulai berani bersuara. Dorongan kepada perempuan Dalit oleh gerakan feminis justru menimbulkan serangan balasan yang lebih brutal dari sebelumnya.
Yang Miskin akan Tetap Bodoh
[...] Haram hukumnya menyentuh kaum Dalit, berlaku lintas agama [...]"
Diskriminasi terhadap kaum Dalit terjadi secara sistematis. Mereka tidak mendapatkan sarana pendidikan yang layak serta fasilitas ekonomi yang banyak.
Akibatnya, mereka akan selalu terbelakang. Hidup terisolasi tanpa kemajuan. Menerima nasib sepertinya satu-satunya jalan. Bahkan kekerasan seksual tidak saja terjadi antar kasta. Kaum lelaki Dalit juga seringkali memperkosa wanitanya sendiri.
Menurut James G. Lochfeid dalam bukunya, "The Ilustrated Encyclopedia of Hinduism: N-Z," warga Dalit sudah lama menjadi korban pengucilan tersebab adanya aturan tak tertulis dari budaya Hindu setempat.
Sebuah Lembaga riset tertua di India (NCAER) beserta Universitas Maryland, AS pernah mengadakan survei di tahun 2014. Terkait kaum Dalit yang dianggap haram untuk disentuh, ada temuan mengejutkan.
Dari seluruh responden yang berpartisipasi, sebanyak 30% umat Hindu masih melakukannya. Selebihnya adalah Sikh (23%), Muslim (18%), dan Kristen (5%).
Artinya, anggapan ini tidak saja berasal dari penganut aliran kasta, tetapi juga sudah merebak ke penganut agama lainnya. Bukan masalah agama, tapi sosial. Â
Diskriminasi ini melahirkan ketimpangan ekonomi yang parah. Warga Dalit kebanyakan tidak berpendidikan. Kalau pun dianggap mampu bekerja, ia digaji lebih rendah.
Kaum Dalit juga tidak punya kesempatan untuk berdagang. Sistem pasar dan finansial di India sangat tidak menguntungkan mereka. Sebaik apa pun diri mereka, takdir telah membuat mereka akan selalu berkubang di lembah kotor.
"Ini seperti lahir dengan stempel di dahi yang tak pernah bisa dihapus," ujar Amit, seorang kaum Dalit kepada sumber (bbc).
Hingga Akhirnya
Memang betul, perbedaan kasta dan perlakuan yang tak adil kepada kaum Dalit tidak bisa serta merta dihubungkan dengan kasus Covid yang melanda India saat ini.
Namun, hati tergelitik untuk bertanya. Adakah karma instan di dunia ini? Jika tidak, maka ini (mungkin) adalah ketimpangan alam yang mencoba mencari keseimbangan. Tapi, jika iya, maka (mungkin) karma itu benar-benar ada.
Perlakuan kepada kaum Dalit tidak bisa ditolerir. Itu adalah aksi penghinaan terhadap kemanusiaan. Untungnya, penulis lahir di Indonesia. Di mana sistem kasta itu tidak ada.
Tapi, satu hal yang masih menjadi PR bersama. Jika toleransi hilang dan diskriminasi menguat, maka (mungkin) kaum-kaum Dalit sejenis buatan Indonesia akan bermunculan.
Semoga tidak, semoga tidak menjadi virus varian baru buatan India.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H