Faktor fisik seperti; dampak setelah pernikahan, meningkatnya usia, hingga efek samping dari obat-obatan. Sementara faktor non-fisik meliputi kejadian traumatis seperti pemerkosaan atau pendidikan seks yang salah.
Tidak ada cara medis yang bisa digunakan untuk mendeteksi penyakit ini. Hanya bisa dirasakan oleh penderitanya sendiri. Jika ia belum menikah, maka rasa sakit dan perih pada vaginanya kadang bisa ia rasakan jika terjadi sentuhan.
dr. Robbi menyarankan agar seorang wanita sebaiknya segera memeriksakan dirinya ke dokter jika merasakan gejalanya. Terutama bagi wanita yang gagal penetrasi pada saat pertama kali berhubungan seksual.
Tidak ada konsekuensi medis yang berbahaya dari penyakit ini, kecuali rasa sakit yang dialami pada vagina saat berinteraksi.
Namun, kondisi psikis yang dialami oleh penderita jauh lebih berbahaya.
Stigma dan Ketidakadilan Gender
Bunga termasuk salah satu anggota Komunitas Pejuang Vaginismus. Ia berharap menemukan edukasi dan jalan keluar terhadap kondisinya. Tersebab selama ini Bunga selalu merasa disalahkan jika menceritakan kondisinya kepada keluarga atau teman-temannya.Â
"Kurang rilekslah, kurang lepaslah, buntutnya saya yang harus memperbaiki diri." Ujar Bunga.
Bukannya tidak mau. Bunga memang tidak mampu.
Untungnya, Arjuna suaminya selalu mendukungnya. Kendati demikian, Bunga selalu merasa bersalah. Tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya membuatnya frustasi.
Ditinggalkan Suami
Namun, tidak bagi wanita lain. Stigma barulah awal penderitaan. Keutuhan rumah tangga menjadi ancaman. Menurut Dian Mustika masih banyak kasus yang jauh lebih parah.
Nindy seringkali dikecam oleh orangtuanya. Yohana ditinggalkan suaminya, bahkan Ayu yang hampir bunuh diri karena merasa tidak berguna. Semuanya akibat akibat vaginismus yang dideritanya.