Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soeharto, "Setiap Kali Saya Salat, Saya Doa untuk Kamu, Habibie"

7 Maret 2021   06:04 Diperbarui: 7 Maret 2021   07:14 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto dan Habibie (sumber: historia.id)

Ujung Pandang awal tahun 1950

Seorang anak lelaki berusia 14 tahun duduk di belakang rumahnya. Sesekali ia mengintip dari balik tembok. Beberapa tentara sedang rapat di ruang tamu. Mereka dipimpin oleh seorang perwira. Badannya tegap seperti aktor laga Hollywood. Wajahny tampan rupawan. Pangkatnya Letnan Kolonel

Sesekali sang perwira menyapa si bocah. "Bagaimana kabarmu, nak?"

Sang bocah hanya menjawab seadanya. Ia sungkan dengan sosok yang diam-diam dikaguminya. Meskipun sang perwira telah menganggap si bocah sebagai anaknya sendiri.

Ujung Pandang 3 September 1950

Sang bocah panik. Ia berlari ke markas Brigade Mataram yang terletak di depan rumahnya. Ayahnya terkena serangan jantung pada saat salat Isya.

Sang perwira datang dengan seorang dokter. Sayangnya, ayah sang bocah tak terselamatkan lagi. Ia wafat pada malam itu. Sang perwira sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri. Ialah yang menutup mata ketika sang ayah wafat.

**

Tak ada yang pernah menyangka, kejadian di Ujung Pandang (kini Makassar) adalah salah satu sejarah penting bangsa ini. Sepenggalan kisah dari pertemuan awal dua orang nomor satu negeri ini.

Perwira itu bernama Soeharto, Presiden ke-2 RI dan sang bocah tiada lain adalah B.J. Habibie, Presiden ke-3 RI.

Sejak saat itu hubungan erat terjalin.

Sang perwira telah kembali ke Pulau Jawa setelah misinya menumpas pemberontakan Andi Azis selesai. Sang bocah kemudian melanjutkan kuliahnya di Institut Teknologi Bandung. Mereka tidak pernah bertemu lagi.

Hingga sang bocah beranjak dewasa. Ia bekuliah di Jerman. Karirnya berilian. Ia menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Aplikasi Teknologi Messerschmitt-Blkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan kerdirgantaraan Jerman.

Garis tangan sang perwira adalah takdir bangsa ini. Ia menjadi orang nomor satu di Indonesia. Setelah peristiwa besar pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965.

Ottobrun, Jerman Tahun 1974

Sebuah telpon dari Mayjen Ibnu Sutowo kepada Habibie. "Pak Harto ingin kamu pulang, temui dia di Cendana."

Di Cendana Seoharto bicara, "Habibie saya tahu mengenai kamu, sekarang kamu harus membantu saya mensukseskan pembangunan. Yang penting bagi saya adalah keterampilan dan teknologi, coba kamu cari jalan."

Permintaan Soeharto langsung disanggupi oleh Habibie. Ia rela melepaskan jabatan dan posisi pentingnya di Jerman. Menjadi penasehat pemerintah di bidang teknologi tinggi. Setelahnya ia mengisi Kabinet sebagai Menristek.

Sejak saat itu Habibie masuk dalam lingkar satu Presiden Soeharto. Menjadi orang kepercayaan, Habibie leluasa menjalankan program yang dicanangkannya. Tak sekali pun dirinya "terbuang" dalam era pemerintahan Soeharto. Hingga ia mengisi jabatan sebagai Wakil Presiden pada tanggal 11 Maret 1998.

Jakarta, 21 Mei 1998

Soeharto berdiri di depan mikrofon dalam balutan safari hitam. Matanya tertuju pada lembaran kertas yang berada di tangannya. Suara seraknya membuka pidato terakhirnya sebagai pemimpin negara.

B.J. Habibie beserta sejumlah pejabat negara berdiri di sampingnya. Mendengarkannya dengan khidmat. Klimaks dari pidato tersebut adalah berakhirnya masa pemerintahan orde baru selama 32 tahun.

Soeharto resmi mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB. Wakil Presiden BJ Habibie pun resmi ditunjuk menggantikan Soeharto sebagai presiden.

Siapa pun tak menyangka, itu adalah pertemuan tatap muka mereka yang terakhir.

Jakarta, 9 Juni 1998

Habibie sempat berbicara telepon dengan Soeharto, untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-77. Ia juga menyampaikan keinginannya untuk bertemu langsung.

"Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang, jikalau saya bertemu dengan Habibie. Laksanakan tugasmu dengan baik. Saya hanya dapat melaksanakan tugas sampai di sini saja. Saya sudah tua."

Siapa pun yang menyangka jika itu adalah pembicaraan terakhir Soeharto dan B.J. Habibie.

Banyak isu yang beredar. Salah satunya adalah dari Probosutedjo yang dikutip dari bukunya, "Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto." Ia mengungkapkan beberapa hal.

Jakarta, 19 Mei 1998

Habibie sempat berbicara dengan Soeharto tentang perkembangan situasi yang sedang terjadi. Awalnya ia menyatakan tidak sanggup menjadi presiden jika Soeharto mundur.

Namun setelah 14 menteri mengundurkan diri pada malam 20 Mei, Habibie berubah pendapat. Ia bersedia menggantikan Soeharto. Menurut Probosutedjo Soeharto sangat terkejut dengan pernyataan Habibie.

Kekecewaan kedua Soeharto menyangkut keputusan Habibie yang memberikan referendum kepada Timor Timur yang akhirnya terpisah dari Indonesia. Probosutedjo mengaku melihat kemarahan Soeharto dari sorot matanya saat keputusan itu diambil.

Kekecewaan ketiga Soeharto diduga karena Habibie menyetujui pengusutan kasus korupsi Soeharto. TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) kemudian dibentuk.

"Baginya, itu adalah sebuah penghinaan besar. Pengadilan terhadap Mas Harto terus dilakukan dan Habibie membiarkan hal itu terjadi," ungkap Probosutedjo.

Soeharto kemudian terkena stroke dan dirawat di RS. Pertamina. Tim Dokter Kepresidenan melarang Habibie menemui Soeharto. Bukannya tanpa sebab. Senang atau marah tetap akan mempengaruhi emosi Soeharto. Potensi gejala emosi dapat meningkatkan pendarahan otak yang bisa berakibat fatal.

Meskipun pada akhirnya kasus Soeharto ditutup melalui SP3 oleh Jaksa Agung, tetap saja B.J. Habibie tidak pernah bertemu Soeharto lagi.

Jakarta, 2014

Enam belas tahun setelah lengsernya Soeharto, B.J. Habibie dengan berapi-api kembali membahas perkataan Soeharto lewat telpon yang menolak ajakannya bertemu.

Di hadapan Najwa Shihab dalam program Mata Najwa yang disiarkan Metro TV, Habibie berkata,

"Dia bilang tidak mungkin kamu ketemu dengan saya. Saya jawab kenapa? Dia bilang merugikan kita."

"Kita itu bukan Seoharto dan Habibie. Kita itu bangsa Indonesia." Pungkas Habibie.

Najwa Shihab lantas bertanya, "Apa ruginya dua pemimpin saling bertemu?"

"Ruginya, karena diadu domba. Dia kan orang yang sangat bijaksana dan tahu lapangan lebih dari Habibie." Jawab suami Ainun tersebut.

Lebih lanjut menurut Habibie, saat ditelpon Soeharto hanya meminta dirinya untuk menghadapi dan menyelesaikan segala masalah yang mendera negeri.

"Saya emosional dan bertanya kepada Pak Harto mengapa tidak bisa bertemu dengannya." Habibie melanjutkan wawancara Najwa.

Jawaban dan pesan Soeharto kepadanya;

"Habibie, saya tahu kamu anak saleh. Kamu salat lima kali sehari. Saya juga. Tapi kamu harus tahu, setiap kali saya shalat, Habibie, saya doa untuk kamu supaya kamu selamat dan sukses. Laksanakan tugasmu."

 "Terus saya bilang, terima kasih, Pak. Saya letakkan telepon itu. Saya menangis. Ainun lihat." Ujar Habibie.

Hingga Soeharto menutup mata pun, Habibie tak pernah melihatnya lagi.

**

Sang bocah kecil tampak kikuk berhadapan dengan seorang pria gagah dalam seragam tentaranya. Sang perwira melambaikan tangannya kepada sang bocah.

"Aku kembali ke Jawa, nak. Suatu waktu kita akan bertemu lagi. Tidak di sini. Tidak di sana. Di suatu tempat di mana kita bisa berkarya bersama untuk kemajuan bangsa ini."

Demikianlah kira-kira yang ada dalam bayangan penulis ketika mereka berpisah pertama kalinya untuk bertemu lagi.

**

Kini kedua tokoh bangsa ini telah tiada. Jejak karya mereka tak akan lekang oleh zaman. Bangsa Indonesia akan mengingat mereka sebagai para pemimpin bangsa yang terhormat.

Rindu dan benci bersatu. Tiada manusia yang sempurna. Bapak bangsa tidak seharusnya dihujat apalagi dibenci. Sedikit banyak seluruh kenyamanan yang telah kita peroleh juga atas jasa dari kedua tokoh ini.

Penulis kembali membayangkan. Pembicaraan yang sempat terhenti kini tersambung kembali. Bukan di sini. Bukan di sana. Tapi, di hati kita.

"Saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangan. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945."

Itu adalah pesan terakhir dari sang Smiling General sebagai Presiden Republik Indonesia. Pesan terakhir yang bermakna penting. Sejarah bangsa tak dapat dipungkiri. Itu adalah takdir. Sejarah bangsa masih terus berlanjut. Nasibnya terletak pada setiap hela napas diri kita.

"Siap Pak Jenderal, saya akan selalu menjaga amanah yang bapak titipkan pada bangsa ini. Beristirahatlah dengan tenang di sisi Nya."

Referensi: 1 2 3 4 5 6

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun