Sang perwira telah kembali ke Pulau Jawa setelah misinya menumpas pemberontakan Andi Azis selesai. Sang bocah kemudian melanjutkan kuliahnya di Institut Teknologi Bandung. Mereka tidak pernah bertemu lagi.
Hingga sang bocah beranjak dewasa. Ia bekuliah di Jerman. Karirnya berilian. Ia menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Aplikasi Teknologi Messerschmitt-Blkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan kerdirgantaraan Jerman.
Garis tangan sang perwira adalah takdir bangsa ini. Ia menjadi orang nomor satu di Indonesia. Setelah peristiwa besar pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965.
Ottobrun, Jerman Tahun 1974
Sebuah telpon dari Mayjen Ibnu Sutowo kepada Habibie. "Pak Harto ingin kamu pulang, temui dia di Cendana."
Di Cendana Seoharto bicara, "Habibie saya tahu mengenai kamu, sekarang kamu harus membantu saya mensukseskan pembangunan. Yang penting bagi saya adalah keterampilan dan teknologi, coba kamu cari jalan."
Permintaan Soeharto langsung disanggupi oleh Habibie. Ia rela melepaskan jabatan dan posisi pentingnya di Jerman. Menjadi penasehat pemerintah di bidang teknologi tinggi. Setelahnya ia mengisi Kabinet sebagai Menristek.
Sejak saat itu Habibie masuk dalam lingkar satu Presiden Soeharto. Menjadi orang kepercayaan, Habibie leluasa menjalankan program yang dicanangkannya. Tak sekali pun dirinya "terbuang" dalam era pemerintahan Soeharto. Hingga ia mengisi jabatan sebagai Wakil Presiden pada tanggal 11 Maret 1998.
Jakarta, 21 Mei 1998
Soeharto berdiri di depan mikrofon dalam balutan safari hitam. Matanya tertuju pada lembaran kertas yang berada di tangannya. Suara seraknya membuka pidato terakhirnya sebagai pemimpin negara.
B.J. Habibie beserta sejumlah pejabat negara berdiri di sampingnya. Mendengarkannya dengan khidmat. Klimaks dari pidato tersebut adalah berakhirnya masa pemerintahan orde baru selama 32 tahun.