Dimulai dari seni dan kebudayaan daerah terlebih dahulu, dalam hal ini literasi akan kesenian "Banyumasan". Sebab secara tidak langsung, ketika kita berbicara budaya daerah, kita sedang berbicara budaya Nasional.
Kita tidak mau bukan sebagai generasi saat ini, tidak meninggalkan jejak apapun dimasa yang akan datang, menyangkut lestarinya kebudayaan leluhur? Mungkinkah kita hanya meninggalkan kebencian terhadap bangsa lain, karena mengakui budaya "katanya milik kita"? Batik diakui bangsa lain kita marah, Wayang diakui kita marah juga. Menurut saya, dalam budaya tidak ada aku dan kamu, milikmu atau milikku.
"Ketika budaya warisan leluhur dilupakan, jangan pernah mengaku bahwa; kita berbudaya. Membanggakan kebudayaan tetapi meninggalkannnya, sama dengan sama sekali tidak berbudaya"
Perlunya membangun rumah budaya tingkat desa
Selain literasi akan seni budaya Banyumasan itu sendiri, faktor dalam membangun rumah budaya untuk generasi muda juga penting. Untuk apa rumah budaya? Tentu mengakomodir anak muda, yang cinta terhadap budayanya sendiri. Menurut saya, salah satu alasan anak muda meninggalkan budaya, adalah jarangnya sarana-sarana menguatkan budaya itu sendiri tentu dalam hal ini "infrastructure kebudayaan".
Saya berpandangan, jika dalam suatu desa terdapat rumah budaya berserta guru seni budaya, akan menjadi penarik yang nyata bagi anak muda. Rumah budaya harus di isi dengan seperangkat instrumen seni budaya seperti; Calung, Gendingan, Instrumen musik Modern dan lain sebagainya.
Juga mendatangkan guru-guru menari yang mahir dibidangnya, untuk melatih Anak-Anak yang berbakat menari. Tentu dana Desa yang besar jumlahnya, dapat mengakomodir semua kebutuhan itu.
Dalam implementasinya dana Desa sering digunakan sebagai pembangunan infrastructure seperti jalan, irigasi dan sebagainya. Namun pembangunan manusia juga tidak harus dilupakan, membangun seni-budaya, juga termasuk membangun peradaban kemasyarakatan "membangun manusia".
Tentu dengan alasan ini, dibangunnya infrastructure budaya, masyarakat dapat terbangun minatnya mempelajari melaui seni budayanya sendiri lewat mudahnya akses untuk belajar. Guru-guru yang didatangkan dirumah budaya, nanti juga mengajari tentang bagaimana hidup bersosial dan bermasyarakat. Tentu supaya generasi muda mempunyai kesadaran moralitas akan hidup bermasyarakat itu sendiri, yang tidak didapatkan di sekolah atau pelajaran agama mutakhir cenderung menghafal saja huruf-huruf dan doa-doa tanpa dibarengi dengan pelajaran untuk sholeh secara sosial.
Saya mengambil contoh di Desa saya Karang rena. Geliat menyatu dalam organisasi masih berjalan, dimana anggotanya merupakan pelajar se-desa. Mereka mewadahi dirinya dengan nama organisasi, Keluarga Pelajar Karang Rena atau disingkat (KPK).