Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Rumah Budaya Desa Karangrena

19 Juni 2019   01:28 Diperbarui: 19 Juni 2019   09:16 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari: Dokpri

Saya tidak mau mengutarakan, hanya keseniaan yang bisa masuk relung paling dalam hati Manusia. Tentu banyak hal yang dapat membuat hati manusia bergetar dengan rasa bahagianya sendiri. Tetapi dari banyak hal itu, salah satu yang dapat membuat bergetar hati, dan membuat bahagia manusia adalah seni yang di budi dayakan sebagai kesenian.

Dimana kesenian yang di budayakan  tidak hanya akan lestarinya seni itu sendiri, tetapi menjadi maha karya yang dapat di banggakan oleh pencinta maupun penikmatnya.  Tidak saya pungkiri bahwa; kesenian mengandung sisi magis yang tidak akan bisa terucap dari bibir manusia. Magisnya kesenian hanya bisa di dengar, di rasa, dan di hayati oleh manusia melaui pengahayatannya.

"Kesenian dalam pengertian saya tersebut, bukan hanya instrument keseniannya saja, melainkan dengan bakat, faktor manusia, pelaku seni dan para pencinta seni itu sendiri".

Berbicara tentang kesenian tentu, saya sebagai orang Cilacap yang berbahasa Banyumasan, akrab dengan kebudayaan baik seni musik, tradisi, dan kebudayaan yang terbangun di rumpun keresidenan  Banyumas. Perkenalan saya dengan seni, baik lagu-lagudan tradisi  Banyumasan tidak lepas dari bapak saya, yang kebetulan sebagai pekerja seni, seorang "seniman" desa atau kampung.

Saya ingat waktu kecil bagaimana Bapak saya menjadi seorang Sinden atau Penyanyi dalam setiap pargelaran Ebeg "Kuda Lumping". Bukan hanya Kuda Lumping saja, Bapak saya-pun menjadi Lengger Lanang, kesenian dari rumpun banyumasan yang kini hampir punah.

Seni Lengger sendiri yaitu seni dalam bentuk tarian yang dikombinasikan dengan alat Musik Calung, dan berbagai alat musik gamelan lain sebagai pendukungnya. Saya melihat sebagai orang banyumasan sendiri bahwa; percampuran budaya antara Jawa dan Sunda, menjadi identitas budaya dari kesenian Banyumasan itu sendiri.

Jika ditelisik lebih dalam, ada kesamaan antara alat musik kesenian Banyumas "Calung" dan "Angklung". Kita sama-sama tahu bahwa; Angklung sendiri adalah alat musik tradisional berasal dari tatar Sunda yang saat ini mendunia, dimana angklung sudah sebagai bagian dari seni musik dunia. Saya kira antara angklung dan calung perbedaannya ada pada bunyi yang dihasilkan dan bentuk alatnya itu sendiri, jika angklung bentuknya kecil, Calung bentuknya besar .

Tetapi menurut pendengaran saya, bunyi Angklung lebih halus jika dibandingakn bunyi Calung.  Alat music Calung sendiri lebih akan terasa keindahan bunyinya jika dimaninkan dengan ritme yang cepat, berbeda dengan angklung yang dibawakan santai baru terdengar indah suaranya.

Untuk itu menjadi ciri dalam budaya seni musik Banyumasan itu sendiri. Banyak dari musik Banyumasan bertempo cepat, dan energik. Saya rasa musik atau budaya Banyumasan berdiri sendiri, tetapi tetap, dalam rujukan suatu budaya tertentu, dimana budaya Banyumasan itu terbangun dari sinkretisme antara budaya dari timur "Budaya Jawa Timuran" dan dari barat  "Budaya Sunda".

"Kembali pada pekerja kesenian Banyumasan itu sendiri. Dengan berbagai masalah di dalamnya, dimana pekerja seni minim apresiasi, Bapak saya-pun pensiun dini menjadi pekerja seni "Seniman".

Seingat saya, terakhir kali masih menjadi Seniman Bapak saya, ketika Saya masuk SD, itupun menjadi pekerja seni bukanlah  pekerjaan pokoknya dalam bekerja. Karena kebanyakan pekerja seni lainnya, kerja seni adalah kerja sampingan yang hanya akan bekerja, ketika ada orang hajatan saja di Desa.

Itupun tidak semua orang hajatan pasti hiburannya "Lengger" atau "Kuda Lumping". Banyak berbagai hiburan lain jika orang menggelar hajatan. Kalau ekonomi orang yang menggelar hajat lumayan, hiburannya pasti Wayang, kala itu Layar Tancep, yang sempat menjadi hiburan populer di Desa saya. Tidak ketinggalan pula , Ketoprak atau "wayang orang" pun menjadi menu hiburan dikala hajatan sebagai hiburan masyarakat disaat menggelar hajatan.

Dilahirkan dari keluarga seniman tentu membuat saya lebih akrab dengan budaya, khususnya kesenian Banyumasan. Menurut saya lagu-lagu dalam seni Banyumasan banyak mengangkat isu-isu Kawulo atau "rakyat jelata" yang dulu banyak berdiam di pinggiran Negara (kerajaan).

Kita boleh sama-sama mencermati lirik lagu Eling-eling misalnya, atau Bendrong kulon, dan Waru doyong, tema-tema lirik lagunya ringan, dan mencerminkan hidup keseharian rakyat jelata pinggiran kerajaan.Tentu karya-karya ini, baik Eling-eling dan lain sebagainya, dapat dijadikan suatu rujukan, dimana budaya "egaliter" sudah tertanam jauh dalam budaya banyumasan, merujuk pada karya seni yang lentur, tidak formal, dan bahasanya tidak seperti karya lagu dari Jawa dibagian timur sana.

Berletak jauh dari Keraton sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Jawa, menjadikan berbedanya langgam-langgam yang dipakai antara Jawa bagain timur dan barat yakni "Banyumasan". Dalam setiap akomodasi, musik masing-masing antara Banyumasan dan Jawa bagian timur sangat jauh berbeda.

Menurut saya, langgam dalam kesenian musik Banyumasan dipengaruhi akar rumput dalam arti kehidupan para Kawulo atau "rakyat jelata". Sedangkan langgam-langgam seperti seni musik Jawa bagian timur seperti Jogja dan Solo banyak dipengaruhi oleh para intelektual atau pujangga Keraton pada masanya. Langgam Jawa bagian timur sendiri banyak memakai bahasa Jawa formal atau halus. Sedangkan langgam dalam seni Banyumasan, dominan bahasa sehari-hari khas penginyongan yaitu bahasa Banyumasan.

Tentu karena Bapak saya seniman, tetapi sudah pensiun sekarang, menjadikan saya akrab dengan kesenian Banyumasan, tetapi membuat pertanyaan, apakah orang-orang tidak banyak peduli lagi pada seni budaya Banyumasan seperti lengger dan sebagainya, yang kini semakin berkurang pelaku keseniannya? Ditambah media-media lokal seperti Radio, Televisi dan sebagainya sering menampilkan budaya Jawa khususnya "Banyumasan" disetiap acaranya lewat berbagai rekaman tayangan, yang mempengaruhi sebagai pelaku seni itu sendiri karena praktis tinggal menenton dan mendengar saja?

Bagi saya ini menariknya berbagai pertanyaan itu, tetapi tentu kurang jika seni budaya hanya sebatas pergelaran di media saja. Dengan budaya modern kini yang  populer dimasyarakat seperti organ tunggal dan lain sebagainya, seni-seni tradisonal banyumasan seperti Ebeg dan Lengger sangat jarang dijadikan hiburan hajatan saat ini.

Kalau hajatan di desa mungkin masih ada hiburan Ebeg dan Lengger, tetapi volumenya tentu berkurang drastis, jika dibandingkan sepuluh atau lima belas tahun yang lalu ketika saya masih kecil.

Karena kurangnya para pelaku kesenian Banyumasan itu sendiri, menjadi sebab terus berkurangnya grup-grup kesenian di Desa. Saya ambil contoh di Desa saya, desa saya sendiri secara administrasi masuk Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap.

Jarang sekali ada anak-anak muda yang mau menjadi pelaku seni termasuk saya. Pertimbangannya mungkin karena faktor ekonomi dan ketidakpastian kerjanya dalam sektor kesenian itu sendiri yang menadi pertimbangan anak-anak muda seperti saya.

Memang grup seni masih ada di Desa saya, namun yang terjadi, grup tetap jalan tetapi personil pekerja seninya diambil dari luar Desa yang sebelumnya sudah bekerja sama.

Tentu kurangnya atensi kaum muda Desa saya dalam bekesenian akan menjadi masalah. Bukan kini tetapi nanti, ketika generasi yang akan datang mencari kesenian leluhurnya.

Saya-pun sebagai kaum muda sebenarnya tidak memungkiri. Rendahnya pandangan masyarakat tentang pekerja seni menjadi alasan tidak diminatinya oleh anak muda.

Belum tentang faktor ekonomi untuk menopang kehidupan dari pekerja seni yang masih rendah. Terus terang saya-pun malu, jika harus melestarikan sebagai pelaku seni. Karena apa? Saya tidak cukup percaya diri untuk tampil didepan umum sebagai penghibur, ibarat kata orang dulu bilang, saya mungkin tidak ketempelan indang. Indang sendiri adalah energi "magis" yang membantu seseorang dalam menghayati dan menambah kepercayaan diri sebagai pelaku seni.

Terlebih badan saya kaku jika harus menari. Tetapi sebagai kredit poin, Saya sebagai anak muda sangat mencintai budaya, khusunya budaya Banyumasan sebagai kebudayaan warisan dari leluhur saya sendiri. Saya menganggap sangat penting, jika kita bukan pelaku kesenian setidaknya mempunyai berkontribusi menjaga akar kebudayaan seni itu sendiri khususnya "Banyumasan".

Memang budaya poluler yang semakin masif kini, seperti musik-musik dari luar negri, dan dangdut koplo sangat digandrungi anak muda. Apa lagi bagi anak muda perkotaan seperti Kota Cilacap atau Purwokerto, saya yakin sudah sangat tidak familiar terhadap budaya khusunya Banyumasan. Tentu musik dari Korea atau lainnya, yang mereka kenal karena kini sedang populer dikenal anak-anak di kota. Saya-pun yang berlatar belakang hidup di Desa, ketika saya pulang ke Desa, ponakan saya meminta memainkan musik di Youtabe, lagunya dari Blackpink, Girl Band asal Korea selatan itu.

Tetapi dengan upaya kita membangun literasi kebudayaan, dan tetap menjaga asa akar budaya itu, mudah-mudahan dapat memicu manusia banyumasan untuk mencintai, syukur dapat menjadi pelaku bagi kelestarian budayanya sendiri. Memang jika di pikir lebih dalam, ada pengaruh antara budaya dan trend. Tetapi sebenarnya saya tidak mempersoalkan itu, seni dan budaya mana pun akan tetap baik, asalkan dasar dari yang menikmatinya bermuatan positif.

Mau dari seni Korea, Barat atau Indonesia populer seperti Dangdut Koplo. Jika kini seni itu yang menjadi tren, apa mau dikata, dan apa yang mau di kritik? Biarkanlah semua itu. Saya juga ingin mengkritisi mereka-mereka, yang berkampanye tentang seni dan kebudayaan, kebanyakan mereka yang selalu menyalahkan ketidak pedulian anak muda akan seni budayannya sendiri.

Jika seni-budaya daerah "banyumasan" tidak populer dikalangan pemuda kini, apa salahnya? Terpenting kita yang mencintai seni "banyumasan" setidaknya menjaga itu dari tingkat diri sendiri terlebih dahulu. Media-media tetap melestarikan seni dan budaya dalam setiap salurannya di kanal medianya, itu sangat bagus memperkenalkan kesenian prodak dari kebudayaan. Tetap tenang, masih banyak generasi tua juga yang masih mencintai seni dan budayannya sendiri.

Pendapat saya, jika kita muda, kita mencintai budaya. Katakanlah kita tidak terjun dalam bidang itu, tetapi upaya kita harus berbuah karya. Memang sekarang tidak popular kesenian itu, tetapi bukan berarti dimasa depan juga tidak populer seni dan budaya tradisional itu.

Pandangan saya, membangun literasi kebudayaan menjadi sesuatu yang realistis harus kita bangun. Baik dari pelaku seni, mau pun pencinta seni tradisonal itu sendiri. Jika di era milenial kini tidak digandrungi seni budaya banyumasan, bahkan kebudayaannya mulai luntur, setidaknnya literasi tentang kebudayaan harus kita bangun. Mengapa dan untuk apa?

Karena ketika budaya leluhur hilang, dan generasi selanjutnya menggugat budaya leluhurnya sendiri untuk dibangkitkan kembali. Mereka mempunyai pijakan literasi untuk menemukan budaya-budaya yang hilang itu.

Dimulai dari seni dan kebudayaan daerah terlebih dahulu, dalam hal ini literasi akan kesenian "Banyumasan". Sebab secara tidak langsung, ketika kita berbicara budaya daerah, kita sedang berbicara budaya Nasional.

Kita tidak mau bukan sebagai generasi saat ini, tidak meninggalkan jejak apapun dimasa yang akan datang, menyangkut lestarinya kebudayaan leluhur? Mungkinkah kita hanya meninggalkan kebencian terhadap bangsa lain, karena mengakui budaya "katanya milik kita"? Batik diakui bangsa lain kita marah, Wayang diakui kita marah juga. Menurut saya, dalam budaya tidak ada aku dan kamu, milikmu atau milikku.

Gambar ilustrasi diambil dari: cilacapkab.go.id/ kelompok tani desa karangrena
Gambar ilustrasi diambil dari: cilacapkab.go.id/ kelompok tani desa karangrena
Selama kelompok masyarakat mau dan tetap membangun budayanya tersebut, budaya itu adalah miliknya. Berbeda dengan suatu kelompok masyarakat yang diwarisi budaya begitu masyurnya, ketika itu tidak dijalankan, ya, "itu bukan miliknya".

"Ketika budaya warisan leluhur dilupakan, jangan pernah mengaku bahwa; kita berbudaya. Membanggakan kebudayaan tetapi meninggalkannnya, sama dengan sama sekali tidak berbudaya"

Perlunya membangun rumah budaya tingkat desa

Selain literasi akan seni budaya Banyumasan itu sendiri, faktor dalam membangun rumah budaya untuk generasi muda juga penting. Untuk apa rumah budaya? Tentu mengakomodir anak muda, yang cinta terhadap budayanya sendiri. Menurut saya, salah satu alasan anak muda meninggalkan budaya, adalah jarangnya sarana-sarana menguatkan budaya itu sendiri tentu dalam hal ini "infrastructure kebudayaan".

Saya berpandangan, jika dalam suatu desa terdapat rumah budaya berserta guru seni budaya, akan menjadi penarik yang nyata bagi anak muda. Rumah budaya harus di isi dengan seperangkat instrumen seni budaya seperti; Calung, Gendingan, Instrumen musik Modern dan lain sebagainya.

Juga mendatangkan guru-guru menari yang mahir dibidangnya, untuk melatih Anak-Anak yang berbakat menari. Tentu dana Desa yang besar jumlahnya, dapat mengakomodir semua kebutuhan itu.

Dalam implementasinya dana Desa sering digunakan sebagai pembangunan infrastructure seperti jalan, irigasi dan sebagainya. Namun pembangunan manusia juga tidak harus dilupakan, membangun seni-budaya, juga termasuk membangun peradaban kemasyarakatan "membangun manusia".

Tentu dengan alasan ini, dibangunnya infrastructure budaya, masyarakat dapat terbangun minatnya mempelajari melaui seni budayanya sendiri lewat mudahnya akses untuk belajar. Guru-guru yang didatangkan dirumah budaya, nanti juga mengajari tentang bagaimana hidup bersosial dan bermasyarakat. Tentu supaya generasi muda mempunyai kesadaran moralitas akan hidup bermasyarakat itu sendiri, yang tidak didapatkan di sekolah atau pelajaran agama mutakhir cenderung menghafal saja huruf-huruf dan doa-doa tanpa dibarengi dengan pelajaran untuk sholeh secara sosial.

Saya mengambil contoh di Desa saya Karang rena. Geliat menyatu dalam organisasi masih berjalan, dimana anggotanya merupakan pelajar se-desa. Mereka mewadahi dirinya dengan nama organisasi, Keluarga Pelajar Karang Rena atau disingkat (KPK).

Tetapi dalam beberapa tahun mutakhir, fungsi mereka hanyalah sebatas menjadi pantia acara pargelaran Hiburan bagi masyarakat, ketika Idul fitri atau hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Saya kira, produktivitas mereka mandeg dengan adanya defisit memproduksi seni dari kekayaan budayanya sendiri, yang dulu ketika saya kecil banyak di bawakan oleh anak-anak sekolah dasar, meskipun iringan musiknya lewat kaset. Karena itu, pentingnya Guru dan Rumah budaya untuk mendidik mereka pelajar se-Desa. Ketika mereka mampu memproduksi seni budaya-nya sendiri, tentu akan semakin berarti eksistensi hidup mereka, agar tidak terasing oleh moderitas hidup hanya diisi dengan main game dan internet.

Menurut saya hiburan yang disajikan dalam pargelaran hiburan masyarakat oleh pelajar Desa saya-pun cenderung stagnan. Tidak ada karya-karya baru yang disajikan. Memang dalam tradisi seni "Lengger atau cowong" misalnya, sudah kesenian lama. Tetapi bagi generasi muda, itu adalah budaya yang baru karena sebelumnya mereka tidak kenal dengan kesenian itu.

Tidak adanya sisi kreatif baru, membaut hiburan masyarakat itu, di isi dengan konten itu-itu saja dari pelajar. Sejak beberapa tahun terakhir, karya sumbangsi banyak dari mereka pelajar Sekolah Dasar yang menari di iringi dengan musik kaset, kini pun sudah jarang dan sedikit yang membawakan seni pementasan itu. Apalagi dengan pertunjukan Drama, Musik dan lain sebagainya, sangat jarang bahkan tidak ada, malah yang menjadi rutin hiburanya setiap tahun Organ Tunggal.

Jika ada upaya dari pemerintah Desa itu sendiri membangun Rumah budaya, tentu semakin banyak seni yang akan dibawakan menghibur masyarakat khususnya dari anak muda, karena ada Guru kesenian yang mengajarkan seni disana. Tidak hanya itu, anak muda yang terlatih dalam membangun seni dan budayanya, juga dapat menjadi potensi ekonomi Desa itu sendiri. Dimana hajatan Kampung yang sering memakai hiburan didalamnya, akan menjadi pasar potensial bagi industri kreatif di pedesaan.

Saya yakin dengan adanya anak muda terorganisir dan trampil dalam berkarya, akan mampu bersaing dengan hiburan populer kini seperti Dangdut, Organ Tunggal, Band dan sebagainya? Terlebih jika salah satu dari grup anak muda tersebut adalah saudara, atau anak dari yang punya hajat. Pasti, mereka akan semakin bangga bahwa; anak muda yang kini banyak mengisi hidupnya dengan bermain Game, baik Online maupun Offline, mampu juga membuat suatu karya seni dan budaya menghibur, bahkan dapat menghasilkan nilai ekonomi.

"Pemberdayaan merawat kebudayaan leluhur baik filsafat atau seni yang mandeg, justru akan mengahacurkan tata masyarakatnya sendiri. Kehilangan budaya sama dengan kehilangan identitas sejatinya, praktis jika sudah hilang budaya luhurnya, masyarakat tidak akan punya adat untuk berpegang".

Bukankah fenomena "Ulin Nuha dan grup kesenian Sekar Wijaya" sebagai prodak asli putra daerah Karang Rena, yang telah membawa nama harum Desa Karang Rena di kancah nasional, merupakan upaya guru-guru kesenian swadaya klompok masyarakat, yang mengajarkan kebudayaan lewat kesenian disana, terhadap mereka "Ulin dan Sekarwijaya"?

Pemuda dan pemudi khusunya "pelajar" Karang Rena, hanya butuh sosok seorang Guru "kebudayaan/kesenian" untuk mengoptimalkan bakat-bakat mereka, sehingga menjadi nilai potensi mereka menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. 

Sosok Ulin Nuha dan anggota grup kesenian Sekarwijaya adalah satu dari banyak bukti itu bahwa; anak muda butuh terwadahi di bimbing oleh Guru, untuk memaksimalkan bakat dan potensi yang mereka punya.

Gambar ilustrasi diambil dari: official ulin nuha/ ulin nuha putra karang rena juara 1 aksi 2019 indosiar
Gambar ilustrasi diambil dari: official ulin nuha/ ulin nuha putra karang rena juara 1 aksi 2019 indosiar
Tulisan ini adalah tulisan lama "beberapa bulan lalu tahun 2018", yang sebelumnya saya sudah tulis. Tetapi karena kurang tahunya saya, akan aktifnya Pawaka, dan Pemerintahan Desa, dalam menaruh perhatian lebih terhadap pelajar, jadi saya tidak publikasi lebih luas, hanya di blog saya saja.  Dengan tahunya saya kini, akan perhatian itu, baik dari Pawaka maupun pemerinath Desa, saya edit kembali, lalu dipublikasikan, dengan bukti bahwa; anak Karang Rena jika digali potensi dan bakatnya, juga dapat membanggakan desa seperti "ulin nuha".  

Semoga fenomena Ulin Nuha dan kawan-kawan di Sekar Wijaya, aktifnya Pawaka dalam memperhatikan pelajar Karang Rena, dengan bukti penghargaan siswa-siswi sekolah dasar yang berprestasi, juga kerja keras Desa yang tetap mempertahankan organisasi pelajar agar tetap ada, akan membuahkah hasil yang lebih luas, tidak hanya memberi penghargaan berupa "uang" bagi pelajar. 

Penghargaan bentuk uang memang bagus dan penting, tetapi uang hanya sifatnya sementara, begitu dibelajakan akan habis. Ilmu yang manfaat, dengan di akmodasinya guru-guru kesenian dan segala bentuk macamnya, untuk mereka para pelajar Karang Rena akan sangat lebih bermanfaat dari uang tersebut.

Mengutip literasi yang pernah saya baca. Jepang waktu itu dengan kedigdayaan militer yang ia punya, sangat maju pada zamannya, dan bisa menguasai nagara lain seperti Indonesia. Tetapi karena pengetahuan, disini sekutu dapat membuat Bom Atom untuk melemahkan, bahkan menghancurkan Jepang, yang mulai menguasai dunia.

Lewat kota Nagasaki dan Hirosima, Jepang di luluh lantakan baik ekonominya, atau pun politiknya, yang membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Lalu ketika jepang hancur, apa yang ditanyakan oleh kaisar Jepang? Adalah seorang guru yang ditanyakan, mengapa yang di tanyakan guru? Karena untuk membangun manusia sangat memerlukan seorang guru, ketika manusia terbangun, peradaban kehidupan pasti akan maju.

Jepang dapat maju karena mengadakan peran seorang guru, saya kira tidak hanya Jepang yang butuh guru untuk memperbaikai peradabannya, Karang Rena juga sangat butuh peran guru, untuk mendidik  para pelajarnya, kini dan nanti. Bekal ketrampilan dan keahlian akan lebih besar manfaatnya, ketimbang berapa pun besar uang yang diterimannya bagi "pelajar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun