Mohon tunggu...
Kliping Sastra Indonesia
Kliping Sastra Indonesia Mohon Tunggu... -

Meski di Dunia Maya, Sastra tetap Nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matahari Akhir Pebruari

28 Januari 2016   19:07 Diperbarui: 28 Januari 2016   19:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ramlah? Kau belum tahu kabar Ramlah?”

“Ceritakan. Aku sungguh tak tahu lagi….”

“Hampir seburuk Mariyah. Mariyah harus menggugurkan kandungannya karena Rachmat, dan kemudian mendendam kepada lelaki. Ia tenggelam dalam lumpur bunga raya. Sedang Ramlah, karena tergoda harta. Mungkin juga karena ketaktahuan. Ia menikah dengan pekerja kayu dari luar negeri. Kawin kontrak. Setahun yang lalu suaminya pulang, dan Romlah kadung ditinggali dua anak yang masih kecil. Kasihan, tak ada yang ditinggalkan, sehingga Ramlah hampir-hampir terlantar.”

“Begitu buruknya,” lelaki muda itu seakan menyesali. “Semua yang kukenal mengalami nasib sial”

“Pun Titi sudah pergi.”

“Maksudmu? Titi juga mati?”

“Kapal yang ditumpanginya diamuk badai. Tenggelam….”

Lelaki itu memandang jauh kedepan. Tirai hujan makin kedap. Tak ada cahaya matahari seperti senja kala biasa.

“Aku pernah bercita-cita membuat jembatan penyeberangan di atas sungai kita ini. Kuingat, kawan kita dahulu. Wahid, Abdul Wahid. Tentu ia sudah insinyur sekarang,” suara lelaki itu memecah kediam-diaman yang memanjang. “Dahulu Wahid amat antusias mendengar cita-citaku itu.”

“Jadi kau belum tahu?”

“Wahid juga kena bencana?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun