“Ia kerobohan tambang batu bara. Tiga hari lamanya baru mayatnya dapat diangkat.”
“Lalu Jamhari?”
“Jamhari jadi sopir taksi. Taksinya mencebur ke kali. Rupanya pintu taksi itu terkunci. Ketika diangkat, Jamhari sudah jadi mayat!”
“Huh!” lelaki itu mengeluh dan seperti muak, “Ceritamu hari ini begitu buruknya. Semuanya petaka.”
“Tetapi kau yang memintanya, Yahya. Aku kangen sebenarnya. Aku kangen bisangobrol denganmu. Sejak SD kita pisah, engkau terus sekolah, aku hanya hanya lulus SD. Tetapi aku selalu ingat kau.
Sekarang kau sarjana. Mana istrimu orang Jawa itu?”
Lelaki muda itu seperti memandang dalam kegelapan. Tiga gadis yang pernah menambat hatinya telah mengalami nasib tragis. Juga gadis keempat, gadis Jawa yang dicintainya harus pula berpisah karena suatu kecelakaan. Bus yang ditumpangi gadis itu—saat kembali dari KKN di Wonosobo—terbalik dan masuk jurang. Tak tertolong, Sri Murtini harus kembali ke alam baka. Kini, di sini, di kota kelahirannya, ia mendengar sejumlah cerita tragis yang mengiris hati.
“Sekarang kau telah pulang, Yahya. Kau memang sekalian pulang ini?” suara si wanita terdengar lagi. “Sayang kalau semuanya menumpuk di kota seperti Yogya atau Jakarta.”
“Aku barusan wisuda. Aku ingin masuk ke pedalaman. Ingin mendirikan sekolah di daerah yang sukar dijangkau angkutan. Hanya, aku masih harus meminta izin di sini. Apakah pemerintah setempat setuju?”
“Aku malu, Yahya. Aku orang warung, kau ajak bercakap begitu tinggi…”
Lelaki itu menatap wajah gadis itu, masih juga jelita, seperti dahulu. Sayang ia tak punya kesempatan sekolah. Lalu terdengar suara lelaki itu. “Aku hanya meminta keterangan darimu. Sekarang aku senang. Banyak yang kudapat darimu….”
Yahya meminta diri dan kemudian melangkah mencari oplet yang bisa ditumpanginya ke arah hulu, ke rumah orang tuanya. Saat mengayunkan kaki, ia teringat ke waktu lalu. Sebelum berangkat memasuki kapal untuk pergi ke Jawa, ia mampir terlebih dahulu di warung Maimunah. Ia sempat minum dan ngobrol. Waktu itu gerimis sedang turun, dan matahari Januari tak menampakkan cahayanya. Biasanya pelangi melengkung kalau ada gerimis mencecahkan kaki kakinya yang runcing ke sungai. Tetapi saat itu, seperti juga saat ini, pelangi itu tak ada. Yang ada hanya tirai putih yang kedap, seperti rimba yang gelap. Adakah ia menggambarkan kehidupan yang penuh tantangan ini? Kehidupan yang diarungi dengan penuh peluh ini?