“Tetapi ia sudah tahu. Kuliah untuk sampai sarjana, paling kurang lima tahun lamanya.”
“Lima tahun tak lama, kata Rosa. Tetapi menurut kabar dari Rachmat, engkau telah menyunting gadis Jawa. Nah, kau tahu sendiri. Dia bukan dipaksa Rachmat, tetapi menyerahkan diri untuk….”
Lelaki itu mengertakkan gerahamnya. Ia ingat Rachmat. Kawan karibnya di sekolah. Rachmat tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena ia lebih mementingkan uang. Ia ikut sindikat penyelundup. Ia jadi kaya raya, dan itu membuat ia dengan mudah menggaet wanita.
“Itu namanya terjerat bujuk rayu. Bukan Rosa yang menyerahkan diri, tetapi Rachmat yang menjerat!”
“Karena Rosa merasa dipanasi Mariyah, Rosa hendak merebut Rachmat dari Mariyah.”
Lelaki itu meneguk sisa terakhir di dasar gelasnya. Ia ingat Mariyah, gadis yang sederhana. Ia mula-mula sekali tertarik dengan Mariyah. Tetapi lama-kelamaan, Rachmat mengatakan kepadanya kalau Mariyah sebenarnya lebih cocok untuk Rachmat. Karena mersa sebagai teman akrabnya, lelaki muda itu bersedia, asal saja ia mendapatkan gantinya. Ia memang mendapatkan Rosa.
“Tetapi Rosa telah bersumpah untuk bersatu denganku. Bahkan hingga surat-suratnya yang terakhir. Masih kusimpan di Yogya.”
“Itulah salahmu, Yahya. Kau tak pernah pulang. Gadis siapa yang tahan menanti tak menentu semacam itu?”
“Saat aku kembali kala riset skripsi, Rosa telah tiada. Yang menyakitkan, ia, kata saudaranya, dibuang ke kampung pedalaman; sekalian mengajar di sana. Karena sudah berbadan dua. Rachmat tak mau bertanggung jawab, karena ia sudah punya istri.”
“Rosa kena penyakit kuning. Bayinya mati, dan ia sendiri.”
Lelaki itu sekali lagi menggertakkan gerahamnya. Hatinya panas. Darah seakan mendidih ke ubun-ubunnya. Begitu melangsa saat ia ingat sumpah setia kekasihnya. Begitu buruknya perangai Rachmat.