“Ramlah? Kau belum tahu kabar Ramlah?”
“Ceritakan. Aku sungguh tak tahu lagi….”
“Begitu buruknya,” lelaki muda itu seakan menyesali. “Semua yang kukenal mengalami nasib sial”
“Pun Titi sudah pergi.”
“Maksudmu? Titi juga mati?”
“Kapal yang ditumpanginya diamuk badai. Tenggelam….”
Lelaki itu memandang jauh kedepan. Tirai hujan makin kedap. Tak ada cahaya matahari seperti senja kala biasa.
“Aku pernah bercita-cita membuat jembatan penyeberangan di atas sungai kita ini. Kuingat, kawan kita dahulu. Wahid, Abdul Wahid. Tentu ia sudah insinyur sekarang,” suara lelaki itu memecah kediam-diaman yang memanjang. “Dahulu Wahid amat antusias mendengar cita-citaku itu.”
“Jadi kau belum tahu?”
“Wahid juga kena bencana?”