Sandekala bukan isapan jempol belaka, fenomena itu bisa dibuktikan baik lewat kaca mata antropologi, agama, maupun sains. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Pun saling mendukung.
Dalam tatanan masyarakat primordial, cara itu dipakai untuk mengantisipasi kebiasaan buruk pada anak-anak yang berpotensi melanggar aturan. Misalnya, anak-anak yang seharusnya belajar, beribadah, atau berkumpul bersama keluarga, tetapi malah bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua.
Terlepas dari ada atau tidaknya sosok Wewe Gombel yang gemar keluar saat sendakala, kearifan lokal sangat penting kita gali, bagaimana orang-orang tua jaman dulu memakai pendekatan narasi hantu agar anak-anak mau mendengar nasehat dan tidak lupa waktu.
Apa kalian menyadari, "sore" yang kerap dipuitisasikan oleh para pujangga sebagai "senja" ternyata tak seindah itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H