"Le, sandekala ndang mlebu omah. Wayahe Setan metu..."
Sore itu Ana tengah asik bermain dengan teman-teman sebayanya di sekolah dasar tak jauh dari rumahnya. Bagi anak-anak seusianya semasa itu, pelataran depan sekolah layaknya wahana Disney World.
Meski bangunan sekolahnya terlihat tua dan sedikit meninggalkan kesan angker, hal itu sama sekali tak mengurangi raut keceriaan di wajah mereka. Di sana pula mereka mengemban ilmu, termasuk Ana.
Di sekolah yang area dindingnya masih didominasi oleh anyaman bambu itu dia acapkali bermain ayunan dan perosotan. Sekira tahun 1970-an, dinding batu bata masih menjadi suatu hal yang mewah di daerah tempat Ana tinggal.
Sesekali dia main kejar-kejaran. Berlari kesana kemari tanpa lelah. Seperti anak-anak pada umumnya yang apabila sudah asik bermain akan lupa waktu.
Rona sinar matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Hari pun sudah mulai gelap. Riuh celoteh mereka memudar seiring datangnya malam. Sunyi mencekam.
Pada saat teman-temanya satu persatu pulang ke rumah masing-masing, Ana sama sekali tidak memedulikannya. Dia masih saja asik bermain. Hanya tersisa dirinya sendiri di sana.
Hingga menjelang Magrib, kedua orang tuanya mulai panik sebab ia tak kunjung pulang ke rumah. Mereka memutuskan untuk mencari Ana di pelataran sekolah tempat ia bermain sedari sore.
Betapa terkejutnya mereka berdua saat mengetahui anaknya tidak lagi berada di sana. Setiap jengkal ruang di sekolah itu mereka geledah, tetapi Ana tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Suara panggilan-panggilan mereka pun tak mendapatkan sahutan. Tak satupun dari teman-temannya yang mengetahui keberadaan Ana kala itu.
Beberapa jam berselang, Ana ditemukan oleh kedua orang tuanya dengan posisi tergeletak dan tertutup karung beras di belakang rumah mereka sendiri. Sontak hal itupun membuat mereka kaget dan terheran-heran karena Ana tak terlihat pulang sejak ia meninggalkan rumah.
Mimik wajahnya terlihat kebingungan, lebih tepatnya linglung. Usai ia meraih kesadarannya kembali, kepada orang tuanya Ana mengaku telah dibawa oleh sosok wanita saat ia sendirian di sekolah.
Awalnya ia disembunyikan di atas plafon sekolah, meskipun secara logika struktur langit-langit bangunan sekolahnya tidak memungkinkan untuk menahan beban manusia karena terbuat dari anyaman bambu yang sudah rapuh termakan usia.
Selain itu, ia juga dibawa ke area gudang penggilingan padi yang berlokasi agak jauh dari sekolahnya. Entah bagaimana caranya ia dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa seorang pun yang mengetahui sampai ia ditemukan oleh orang tuanya.
Disinyalir Ana telah diculik oleh sosok Wewe Gombel. Cerita mencekam tersebut merupakan kisah nyata yang dialami oleh tetangga saya semasa kecil. Di sekolah itu pula saya menuntut ilmu 20 tahun silam.
Mereka yang diculik oleh Wewe Gombel akan diberikan makanan berupa kotoran manusia dengan tujuan untuk membuat mereka berhalusinasi sehingga tak bisa mengungkapkan wujudnya dan apa yang telah mereka alami.
Wewe Gombel merupakan sosok wanita tua yang konon berasal dari pegunungan Gombel di Semarang, Jawa Tengah.
Jaman dahulu, ada seorang nenek yang sangat gemar bermain dengan anak-anak karena tak memiliki keturunan. Ia tinggal di kaki pegunungan Gombel dan apabila ada anak yang sedang mencari kayu bakar, sang nenek akan mengajak mereka mampir ke gubuknya.
Mereka akan diberi makanan dan buah-buahan sampai terkadang membuat sang anak lupa untuk pulang hingga orang tua mereka pun mencarinya.
Akan tetapi, karena sang nenek mengerti bahwa anak itu bukanlah anaknya, maka disuruhnya pulang dan kadang ia sendiri yang mengantar mereka pulang.
Seiring waktu, sang nenek menghilang bak ditelan Bumi. Ia jarang menampakan diri lagi di sana. Masyarakat berasumsi ia sudah meninggal dan ada juga anggapan yang menyebut ia telah diangkat menjadi penunggu pegunungan tersebut.
Setelahnya, banyak dijumpai fenomena anak yang tiba-tiba menghilang lantas ditemukan lagi dengan ekspresi wajah kebingungan beberapa waktu kemudian. Mereka beranggapan anak-anak telah diculik sang nenek yang sudah menjadi sosok tak kasat mata, Wewe Gombel.
Nama Wewe Gombel sendiri diambil dari wewek (perempuan) dan Gombel yang berasal dari nama pegunungan di mana nanek itu pernah tinggal.
Sejak saat itu orang tua yang mempunyai anak belia selalu berpesan jika bermain di luar rumah jangan pulang terlalu gelap karena sudah memasuki waktu sandekala. Akhirnya kisah itu menjadi folklore yang dituturkan oleh orang tua secara turun-temurun kepada anak dan cucu mereka.
Melalui penelusuran singkat memakai Google, bisa ditemukan puluhan berita yang mengungkapkan hilangnya anak-anak yang disinyalir disebebakan oleh aktivitas Wewe Gombel.
Saking melegendanya makhluk mistis itu sampai-sampai kisahnya diangkat lewat beragam judul film horor, salah satunya Wewe yang dirilis pada tahun 2015 lalu.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, terutama kalangan sesepuh (tua), saat-saat menjelang Magrib atau yang dikenal dengan istilah sandekala adalah penunjuk waktu di mana anak-anak pantang untuk berkeliaran di luar rumah.
Konon menjelang Magrib adalah waktu di mana berbagai macam makhluk ekstra-terestrial mulai berhamburan keluar dari tempat persembunyian dan bertebaran di alam manusia.
"Le, sandekala ndang mlebu omah. Wayahe Setan metu" adalah kalimat yang paling sering saya dengar dari kakek dan nenek semasa saya masih belia dahulu.
Dalam bahasa Indonesia kalimat itu bisa diartikan, "Nak, sudah mau Magrib sana masuk rumah. Waktunya Setan keluar." Frasa itu menjadi sebuah peringatan dari orang tua kepada anak-anaknya yang masih kecil agar tidak berkeliaran di luar rumah menjelang Magrib.
Faktanya, tidak hanya masyarakat area Jawa Timur dan Jawa Tengah saja yang menggunakan terminologi sandekala, dalam kepercayaan masyarakat Jawa Barat pun mengenal konsep yang sama.
Masyarakat Jawa Barat mengidentifikasi istilah sandekala melalui budaya pamali. Sementara masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, budaya pamali bisa dikenali melalui konsep "ora elok" (tidak patut). Keduanya kerap diasosiakan dengan hal-hal yang dianggap pantangan atau tidak boleh dilakukan.
Sandekala berakar dari bahasa Sansekerta yang berarti gurat merah di langit senja atau senjakala. Dalam ragam bahasa Jawa sandekala memiliki padanan kata "wayah tibra layu" yang berarti ketika matahari mulai terbenam (kira-kira pukul 17.30).
Namun, sandekala kerap disalahartikan sebagai sosok raksasa besar atau jenis hantu oleh anak-anak karena konstruksi yang ditanamkan oleh orang tua mereka secara turun-temurun.
Sejatinya penggunaan sosok menakutkan dipilih sebagai wujud rasa sayang orang tua pada anak-anaknya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Melalui simbol-simbol menakutkan anak-anak diharapkan mau menuruti nasehat orang tua dan berdiam di rumah saat sandekala.
Pandangan itupun seirama dengan kajian agama Islam. Menganjurkan anak-anak untuk tak berkeliaran di luar rumah dan menutup pintu rapat-rapat menjelang waktu Magrib hukumnya sunah.
Dalam Islam, sandekala adalah waktu di mana Jin dan Iblis mulai menyebar di alam yang sama dengan manusia untuk mencari tempat berlindung.
Mereka tersebar dalam berbagai wujud dengan jumlah yang tidak ada yang tahu selain Allah. Sebagian dari mereka takut dengan setan yang lain sehingga harus memiliki sesuatu yang mereka jadikan sebagai tempat aman untuk berlindung.
Menurutnya, saat menjelang Magrib, Jin dan Iblis berada di puncak kesaktiannya. Hal itu disebabkan karena resonansi yang dimiliki selaras dengan spektrum alam.
Pergantian waktu sandekala dari siang ke malam juga dapat berpengaruh pada fisik manusia, dari aspek penglihatan sampai pikiran, terutama pada anak-anak.
Dalam pergantian waktu tersebut mata dan pikiran mereka akan membutuhkan penyesuaian. Di waktu itulah anak-anak kesulitan dalam mengidentifikasi jalan pulang, sehingga membuatnya tersesat. Hal tersebut yang kemudian diasumsikan oleh masyarakat, bahwa hilangnya anak-anak disebabkan aktivitas Wewe Gombel. Namun, tidak menutup kemungkinan apa yang mereka percayai itu benar adanya.
Sandekala bukan isapan jempol belaka, fenomena itu bisa dibuktikan baik lewat kaca mata antropologi, agama, maupun sains. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Pun saling mendukung.
Dalam tatanan masyarakat primordial, cara itu dipakai untuk mengantisipasi kebiasaan buruk pada anak-anak yang berpotensi melanggar aturan. Misalnya, anak-anak yang seharusnya belajar, beribadah, atau berkumpul bersama keluarga, tetapi malah bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua.
Terlepas dari ada atau tidaknya sosok Wewe Gombel yang gemar keluar saat sendakala, kearifan lokal sangat penting kita gali, bagaimana orang-orang tua jaman dulu memakai pendekatan narasi hantu agar anak-anak mau mendengar nasehat dan tidak lupa waktu.
Apa kalian menyadari, "sore" yang kerap dipuitisasikan oleh para pujangga sebagai "senja" ternyata tak seindah itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H