‘apa yang membuat paman yang tinggal di kota indah nan megah penuh dengan gedung-gedung pencakar langit hijrah ke kampung yang sunyi ini”
“ada banyak hal, ada banyak hal yang membuatku tidak betah tinggal di kota. Setiap hari di sana kami harus menghisap polusi. Kehidupan kota yang glamour dan pergaulan bebas di sana, aku takutkan meracuni pikiran anakku yang lugu dan polos. Lagi pula umurku sudah mencapai 61 tahun, rambut putih yang menghiasi kepalaku adalah pesan yang dikirimkan sang pencipta bahwa masa baktiku di dunia ini tidak lama lagi. Seperti orang pada umumnya, aku juga ingin di kubur di tanah kelahiranku.” Ujar Kahar panjang lebar.
Tak lama kemudian, muncullah Zahara dari bilik dapur, ia seaakan hujan yang telah lama dinanti kedatangannya. Ditatanya gelas-gelas yang berisi teh di meja, dengan senyum yang mengembang ia mempersilahkan sang penunjuk jalannya untuk menikmati teh dan kue yang telah iasajikan.
Dengan sedikit malu-malu Idris menikmati apa yang telah disajikan si gadis tomboy. Zahara terus saja memperhatikan gerak-geriknya, hal itu membuatnya merasa agak risih. “makan lagi kak! Masih banyak kok” suruh Zahara. Idris hanya menganggukkan kepalanya.
Mentari hampir saja menghilang, sebelum maghrib menjelang Idris mohon pamit kepada pemilik rumah untuk segera pulang. “jangan sunkan datang kesini yah anak muda” kata pak Kahar “makasih yah kak, udah ngantarin Zahara pulang” tambah Zahara dengan senyuman manisnya.
Baca juga blog saya di http://cintasejati.mywapblog.com