Bergegas ia mengangkat tubuhku. Ia berlari dengan gesit membawa tubuhku yang ringan ini ke sebuah gua kapur dekat pantai itu. Ia mendudukanku di dekat kayu bekas perapian itu. Ia pergi dan kembali datang sembari membawa dedaunan itu membalut setiap goresan yang ada di tubuhku. Seusainya, ia menggesekkan batang kayu itu untuk menghangatkan gua yang lembap ini.
Waktu terus saja berjalan, malam mulai datang. Sesegera ia menutup gua itu dengan batu yang tinggal ia dorong dari samping gua bagian dalam itu. Ia duduk di dekat perapian itu dan memberiku ikan yang sudah ia tangkap sebelumnya. Aku menerimanya dengan senang hati.
“Aku Cita!” teriakku padanya.
“Bima!” sahutnya.
“Oh ya? Woww. Seperti namamu, kau begitu kuat.” Ucapku dengan kagum. Tangannya menjulur pada api itu.
“Hey! Nanti tanganmu bisa terbakar!” teriakku sedikit cemas.
“Apa seperti ini yang namanya terbakar itu?” tanyanya dengan polos sembari memperlihatkan api yang sudah berontak di tangannya. Aku terpaku melihatnya, ia benar-benar tak merasakan sakit atau panas yang kuterjemahkan dari rautnya.
“Aku pengendali api,” ucapnya sembari memadamkan api di tangannya itu.
“Hahaha. Aku serasa hidup di negeri dongeng.” Tawaku mengalun.
“Kamu pengendali apa?” tanyanya sambil mendekat.
“Hei. Aku hanya manusia!” jawabku sontak.
“Coba kulihat tanganmu.” Aku mengulurkan tanganku dengan senang hati.