Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... -

semuanya adalah tentang rasa lelah dan jenuh. khayalan yang terlalu sayang untuk hilang begitu saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Apel

27 Agustus 2015   19:53 Diperbarui: 27 Agustus 2015   19:53 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku merasa nyawaku sudah kembali dari dunia yang tak jelas. Tubuhku terasa amat ringan sekarang. Kakiku terangkat dari bumi ini. Aku mengira ini hanya karena aku terlalu banyak mengonsumsi obat setan itu.


“Tidakkkkk!!!!!” teriakku saat sadar aku makin jauh dari pijakanku.


Aku mengambang bagai kertas yang dihembus angin. Aku mual dan merasakan takut yang teramat sangat. Kutatap hamparan kotaku yang hancur makin mengecil. Aku lemas dan pasrah di atas. Kutatap lautan biru membuka mulutnya.
Tubuh ini tiba-tiba terasa berat, aku tak dapat lagi bergerak. Aku kini merasa dipermainkan gravitasi bumi tua ini. Aku tak dapat lagi bergerak, kram seluruh tubuh mulai menyerang. Lautan itu digulung ombak, mereka menyambutku dengan arus ganas .
Byuuurrrr


Lautan yang menelanku atau justru aku yang menelan lautan? Entahlah aku juga bingung. Terbentur tubuh ini di dasar yang gelap, tidak ada cahaya yang bisa menembus dalamnya dasar ini. Ikan-ikan berkepala dengan lampu itu menghampiriku, gigi runcingnya terlihat bagai tersenyum menatapku. Ia makin mendekat, aku terbawa gulungan air ini dengan pasrah.


Tubuh lemah ini dilontarkan dari laut menuju tanah berpasir. Di sini aku kembali dililit akar tunggang bakau ini, lagi-lagi sepi. Aku tersenyum beku melihatnya. Aku bergerak setelah sadar kepiting itu masuk dan mencapit bagian vitalku.


“Dasar kepiting mesum!!!” hujatku sambil melepaskan kepiting itu.


Kujilat pemandangan ini, arusnya sangat tenang dan indah. Seolah aku sendiri tak percaya kalau beberapa waktu lalu ada pusaran yang memuntahkanku. Beranjak aku bangkit dari rumpun bakau ini. Tiba-tiba kepalaku terasa seperti dikenai sesuatu. Kulihat di pasir itu, cangkang kerang berukuran kecil itu.


Kepalaku berbalik ke arah belakang sambil mengelus kepala yang terasa lumayan sakit ini. Kulihat seseorang lari masuk hutan itu begitu cepat. Tak mau kalah darinya, kulalui ilalang ini dengan cekatan yang menggores kaki tanpa alas ini. Ia hilang bagai angin, aku hanya bisa terdiam mengamati jurang yang terpapar di mataku.
Tuhan ada satu lagi yang membuat mataku tercengang, ular itu besar sekali. Ular itu semakin mendekat hingga kibasan itu datang membawaku lari. Kutemukan orang yang tadi dengan jahil melempariku dengan cangkang kerang itu. Aku tertawa puas dan lega.


Tubuhnya tinggi dan kekar, dari belakang sini kulihat ia tersenyum simpul. Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus berlari yang jelas, kakiku sudah tidak kuat lagi. Aku duduk tersungkur, ia tetap saja berlari. Sampai akhirnya ia sadar telah menyeretku dengan jarak yang lumayan jauh. Ia terduduk menatapku dengan kaki yang membekas ini.


“Ularnya dari tadi tidak mengejar kok!” aku nyengir memampangkan gigi gingsul yang ada pada bagian atas kanan gusiku ini.


“Lesung pipimu tajam!” ucapnya sembari menyentuh pipiku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun