Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (10)

15 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 15 Maret 2022   22:01 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pepen membuang muka ke meja tulisnya. Menatap foto Mira yang di figura kecil itu.

"Mungkin  Mama sangat mengkhawatirkan. Apa lagi ke Mira sudah nggak seperti ke orang lain. Miranya juga sudah seperti ke orang tuanya sendiri. Sekarang mau ditinggalin lama sekali. Paling sebentar tiga bulan Kus, sekali berlayar teh.

Jangankan orang lain, Mama sama Babe juga nggak percaya awalnya waktu bilang mau kerja di kapal teh. Sampsi terus sering bertanya apa alasannya. Dipikir ke arah situ bener mungkin ya, alasannya tidak bisa dimengerti orang lain."

"Iya. Cuma bisa melanglang jagat, sampai ninggalin ini ninggalin itu."

"Kalau meninggalkan segala hal mungkin nggak, Kus. Kan niatnya juga sekarang mah cuma sekadar ingin mencari pengalaman. Sebab di darat cuma begini dan begini saja, siapa tahu kalau di lsutan mah."

"Apa lagi begitu, seperti yang sengaja membuang diri."

"Gimana kalau iya begitu Kus?"

Kusnadi agak terperangah. Ditatapnya wajah Pepen. Apa benar dia yang tadi bicara?

"Ada masalah apa Pen, kalau benar sampai sengaja membuang diri."

"Kesal sama Kang Zul!" jawabnya pendek.

Kusnadi tidak terburu-buru bertanya lagi. Pepen juga begitu, seperti menyimpan titik di bagian itu. Kusnadi agak memikirkannya. Sekarang pembicaraan Pepen sudah tidak ada agak bercandanya.

"Merasa dibodohin Kus." kata Pepen setelah sementara waktu. "Coba pikir. Dulu waktu memulai, semua sudah sepakat manis pahit tetap bersama-sama. Akan bersama-sama menghadapi apapun.  Dalam segala rupa urusan, tidak saling melemparkan. Seperti kareba itu mah urusan Kang Zul, sama kita dibiarkan. Nggak kan? Kalau ada kesulitan selalu saling membantu. Nggak sendiri-sendiri, ini bagian si anu itu bagian yang lain. Tapi bagaimana akhirnya? Kus! Kang Zul sama Oom Jaya teh sudah lama diam-diam berunding. Tidak terbitnya PUBLIK teh memang disengaja, mereka yang mengaturnya."

"Kata siapa Pen?"

"Kata siapa? Kan tadi katanya, jangan terlalu percaya omongan orang. Nah buktinya sekarang. Kus masih sangat percaya sama Kang Zul. Sama Oom Jaya juga. Sudah beda Kus, mereka sudah beda sekarang."

"Aku juga ada rasa curiga mah, gimsna yang sebenarnya Pen?"

"Masih ingat waktu ada urusan sama Polisi? Kan waktu itu kata Kang Zul : Kalsu isi koran kita  terus-terusan begini tidak mustahil akan terus mendapat kesulitan. Masih ingat?"

Kusnadi mengangguk.

"Mengherankan kan? Masa seukuran Kang Zul, yang dari awal sangat bersemangat, begitu idealis, baru menghadapi kejadian seperti itu harus sudah terus terang tidak sanggup. Kejadian itu kan bukan perkara besar. Waktu kita berdua menemui polisi, yang disangka mau didakwa buktinya mah malah ngobrol."

"Tapi waktu itu teh ada surat peringatan  Pen, yang isinya agak keras."

"Iya, isi suratnya agak keras. Tapi ada yang ngasih tahu, itu juga ulahnya Oom Jaya!"

"Ulahnya Oom Jaya? Bagaimana sampai bisa begitu Pen?"

"Kuuus!Kuuus! Oom Jaya teh pengusaha. Mungkin seperti acuh tak acuh sama urusan koran teh. Waktu itu gembiranya diajak bikin koran, sebab sudah terbayang penghasilannya. Kus tahu, berapa keuntungan koran kita?"

"Nggak!"

"Kang Zul teh belok, Kus. Sudah gitu mungkin yang niatnya nggak baik mah selalu ada jalannya. Dia sekongkol, atau mungkin awalnya mah diajak sekongkol sama Oom Jaya. Tapi di bagian hitung-menghitung suka bawa-bawa Mira. Mira kan sampsi sekarang masih setia sama kita-kita. Masih ingat sama rencana kita dulu. Makanya banyak yang diceritakan lagi?"

"Tapi kan kita baru tahu sekarang." kata Kusnadi tampak merasa menyesal.

Pepen lama termenung.

"Tadinya mah apa lagi Kus, nggak akan pernah diceritakan keadaan yang sebenarnya teh. Biar saja yang tahu cuma aku sama Mira. Bukan mau selingkuh, tapi supaya Kus tetap percaya ke Kang Zul."

"Apa gunanya Pen?"

"Iya akhirnya kepikiran begitu. Apa gunanya disembunyikan? Yang paling bandel, mereka seperti merasa trtap tersembunyi. Sama sekali tidak meraba perasaan kita-kita."

"Gimana Pen, yang sebenarnya teh?"

"Si Oom Jaya mau pindah ke Jakarta. Ada satu berita, katanya akan berkiprah di bidang politik yang lebih dari sekarang. Kata berita lainnya lagi ada objek usaha yang lebih besar berskala nasional. Tapi kayaknya mah, tidak mustahil kalau dua-duanya benar. Ya aktif di politik, ya pegang usaha juga. Kan yang lain juga banyak yang begitu.

Ada yang bilang , awalnya Si Oom teh pernah ribut sama Kang Zul. Katanya Kang Zul tetap mau mengokohkan koran kita agar jangan sampai putus. Tapi kayaknya kena yang vitalnya, sampai akhirnya Kang Zul kalah. Tapi nggak tahu, menang atau kalahnya mah. Cuma yang pasti PUBLIK nggak akan terbit lagi. Kita saja yang mikirin mah. Kus tahu, mau ke mana Kang Zul seterusnya?"

"Baru dengar kabar, katanya mau buka peternakan di Pangalengan."

"Sama Si Oom itu teh Kus. Sama itu kayaknya Kang Zul dipikatnya. Si Oom yang ngurusin ini itu. Kang Zul yang ngurus sehari-hari."

"Punya andil atuh kalau gitu mah."

"Nggak tahu. Nggak mau menyelidiki bagaimana yang sebenarnya. Takut buktinya lebih dari yang kita sangka." kata Pepen sambil tertawa kecil.

Kusnadi mengangguk.

'Kenapa nggak mau tahu yang sebenarnya?"

"Ah, nggak mau aja. Apa lagi gunanya? Koran kita sudah pasti dihilangkan. Kalsu kita tahu keadaan yang sebenarnya koran teh akan tertolong, mau nanyain. Ini mah malah menambah-nambah pikiran."

"Tapi apa sebabnya Pepen terus kerja di kapal?"

Pepen tertawa.

"Awalnya iseng Kus." jawabnya. "Daripada nggak ada yang ditunggu, ya daftar sama teman. Tapi saat sudah lulus tes, hati jadi bulat. Mending berlayar kayaknya mah. Hitung-hitung menghindari pikiran yang galau. Kalau begitu Kus nggak setuju?"

"Bukan soal setuju atau nggak setuju, Pen. Ini mah nggak nyangka. Tapi sekarang kan mungkin sudah nggak bisa dirubah lagi. Kapan mulai training?"

"Sampai hari ini belum ada lagi kabar. Kalau Kus mau gimana? Mau nerusin kuliah lagi?"

"Sampai sekarang mah belum punya pikiran apa-apa. Malah tadi teh baru beres-beres di kantor. Mengambil yang sekiranya penting."

"Ada siapa di sana?"

"Cuma Si Emang. Yang Pepen mah sudah nggak ada apa-apa lagi?"

Pepen menggeleng.

"Sudah dibakar semuanya!" jawab Pepen.

"Dibakar?"

Pepen termenung.

"Si Emang nggak bilang apa-apa gitu?" tanya Pepen.

Kusnadi menggeleng.

"Nggak tahu gimana, mulanya niat teh sangat baik." kata Pepen.  "Ke kantornya juga malah sengaja bareng sama Mira. Semua diberesin, disusun. Mendadak Mira cerita, katanya Teh Iceu ngajak main ke Pangalengan, lihat yang bikin lahan buat peternakan. Mira juga merinci lagi. Berapa hektar lahannya, berapa persiapannya sama siapa saja yang nantinya akan bekerja di sana. Nggak tahu gimana, dengar begitu ujug-ujug kesal saja. Sampai ingin melupakan segala rupanya. Nggak ingin lagi ingat ke PUBLIK dan segala rupa yang berkaitan dengannya.

Segala yang dikumpulin teh Kus, akhirnya mah aku bakar. Mira mencegahnya, tapi malah aku bentak. Aku kesal Kus. Sangat kesal! Awalnya kesal ke Kang Zul sama Oom Jaya. Tapi lama-lama kepikiran, mungkin begitu juga sudah niat mereka. Kalau mau kesal kita teh harus kesal ke diti sendiri. Kenapa kita sampai nggak punya pikiran cadangan."

Pepen berbalik ke Kusnadi.

"Kan Kus juga." ujarnya agak keras. "Seperti sangat keasyikan. Keasyikan ngurus koran. Keasyikan mengantar minat. Sampai waktu Kang Zul ngasih tahu bahwa koran akan berhenti. Kita cuma bisa terperangah. Terkejut karena nggak nyangka. Beda sama mereka. Mereka mah sudah siap-siap untuk maju ke garapan baru. Si Oom akan lebih mapan berkembang di lahan yang lebih luas. Kang Zul akan lebih nyaman ngurus piaraan. Kalau aku? Kalau Kus?"

Kusnadi mengangguk beberapa kali, meskipun dia tidak tahu harus bicara bagaimana.

"Kita teh jadi hilang kepercayaan Kus." kata Pepen. "Bisa jadi karena tadinya terlalu percaya ke orang lain, sekarang yang kita percaya malah nggak adil.

Tadi pagi Mira ke sini. Katanya dititipin pesan sama Kang Zul kita harus ke sana. Aku bilang ke Mira, sekarang-sekarang lagi nggak mau ketemu sama Kang Zul. Dibilang begitu, Mira agak kaget. Boro-boro Mira, aku sendiri hampir nggak percaya, apa sebabnya aku sampai bicara begitu."

"Ada perlu apa Kang Zulnya?"

"Nggak tahu."

"Kata Mira?"

"Sesudah aku biasa lagi dia malah bercanda. Kenapa marah-marah, ...nggak kebagian sapi?"

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung, Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun