"Merasa dibodohin Kus." kata Pepen setelah sementara waktu. "Coba pikir. Dulu waktu memulai, semua sudah sepakat manis pahit tetap bersama-sama. Akan bersama-sama menghadapi apapun. Â Dalam segala rupa urusan, tidak saling melemparkan. Seperti kareba itu mah urusan Kang Zul, sama kita dibiarkan. Nggak kan? Kalau ada kesulitan selalu saling membantu. Nggak sendiri-sendiri, ini bagian si anu itu bagian yang lain. Tapi bagaimana akhirnya? Kus! Kang Zul sama Oom Jaya teh sudah lama diam-diam berunding. Tidak terbitnya PUBLIK teh memang disengaja, mereka yang mengaturnya."
"Kata siapa Pen?"
"Kata siapa? Kan tadi katanya, jangan terlalu percaya omongan orang. Nah buktinya sekarang. Kus masih sangat percaya sama Kang Zul. Sama Oom Jaya juga. Sudah beda Kus, mereka sudah beda sekarang."
"Aku juga ada rasa curiga mah, gimsna yang sebenarnya Pen?"
"Masih ingat waktu ada urusan sama Polisi? Kan waktu itu kata Kang Zul : Kalsu isi koran kita  terus-terusan begini tidak mustahil akan terus mendapat kesulitan. Masih ingat?"
Kusnadi mengangguk.
"Mengherankan kan? Masa seukuran Kang Zul, yang dari awal sangat bersemangat, begitu idealis, baru menghadapi kejadian seperti itu harus sudah terus terang tidak sanggup. Kejadian itu kan bukan perkara besar. Waktu kita berdua menemui polisi, yang disangka mau didakwa buktinya mah malah ngobrol."
"Tapi waktu itu teh ada surat peringatan  Pen, yang isinya agak keras."
"Iya, isi suratnya agak keras. Tapi ada yang ngasih tahu, itu juga ulahnya Oom Jaya!"
"Ulahnya Oom Jaya? Bagaimana sampai bisa begitu Pen?"
"Kuuus!Kuuus! Oom Jaya teh pengusaha. Mungkin seperti acuh tak acuh sama urusan koran teh. Waktu itu gembiranya diajak bikin koran, sebab sudah terbayang penghasilannya. Kus tahu, berapa keuntungan koran kita?"