Mohon tunggu...
Kiki Olivia Panjaitan
Kiki Olivia Panjaitan Mohon Tunggu... Lainnya - Happy wife 🌷 Blessed mom of three

IRT yang sedang mencoba menepi dari hiruk pikuk dunia, dan (sok) ingin jadi penulis, tapi males nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pizza untuk Udin

29 Juni 2024   12:06 Diperbarui: 29 Juni 2024   12:26 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lima kali Jaka berjalan mondar-mandir di depan restoran Pizza yang terkenal itu.

Ditangannya ada selembar uang pecahan sepuluh ribu. Ia tahu uangnya pasti tidak cukup untuk membeli sekotak hidangan khas Italia yang dijual di sana, tapi permintaan Udin, anak semata wayangnya semalam membuatnya gusar.

***

"Mak, kapan Udin bisa makan pizza? Si Togap udah, Joni juga udah. Cuma Udin yang belum pernah makan piza, Mak," sungut Udin.

"Kalau Togap sama Joni udah makan pizza, memangnya kau harus makan juga?" tanya Rumi---istri Jaka dengan logat Medannya.

"Iyalah, Mak. Biar keren. Udin ini ketua geng, masak kalah sama anak buah sendiri." Udin menepuk dadanya seolah bangga dengan sebutan ketua geng yang diucapkannya.

"Din, kau tahu nggak, makan pizza itu bisa cacingan,"  sahut Jaka cepat, biar Udin nggak banyak permintaan lagi.  Tapi justru ocehan bocah berparas tampan namun dekil itu semakin menjadi-jadi.

"Nggakpapa cacingan, Pak. Daripada bisulan. Kata si Togap kalau tiap hari makan telur bisa bisulan," jawab Udin sambil  memasukkan telur dadar ke dalam mulutnya.

Malam itu mereka makan dengan lauk sebutir telur didadar lalu dibagi tiga.

"Lagian kan besok Udin ulang tahun, Pak. Belikanlah Udin pizza. Sekaliiiii ini aja. Biar Udin bahagia." Udin mengerjapkan matanya, melayangkan senyum penuh harap pada Jaka dan Rumi.

"Ya udah besok bapak beli ya." Jaka mengacak-acak rambut Udin.

"Duit dari mana pak?" Rumi bertanya dengan suara yang hanya bisa didengar olehnya dan Jaka saja, tak ketinggalan ia mencubit sedikit pinggang Jaka.

Jaka hanya mengangkat bahunya.

***

Jaka senyum kecut mengingat permintaan Udin semalam. Dikembalikannya uang sepuluh ribunya ke dalam saku celana. Dalam benaknya semoga nanti sore ia sudah bisa membeli pizza untuk Udin.

Jaka kembali melangkah menyusuri jalan menuju Pasar Pagi untuk memulung barang-barang bekas di sana. Biasanya menjelang siang seperti ini sudah banyak botol plastik bekas yang berserakan.

Setelah mengumpulkan beberapa botol plastik, Jaka duduk sebentar di bangku kayu yang ada di pasar. Pikirannya kembali kalut.
 
Membeli pizza mungkin bukanlah hal istimewa bagi kebanyakan orang. Banyak orang yang bisa membelinya dengan gampang, tapi tidak dengan Jaka dan Rumi. Hasil memulung setiap hari harus dipotong lagi dengan membayar utang mereka di rentenir.

Waktu itu Udin demam tinggi sampai kejang-kejang. Jaka dan Rumi panik dan langsung membawanya ke Rumah Sakit. Jaka terpaksa meminjam uang kepada Mak Ros, rentenir yang terkenal dengan bunga pinjaman mencekik. Pantas memang ia disebut lintah darat, menghisap darah korbannya sampai kenyang.  

Utang Jaka lima juta, ia harus membayar tiga puluh ribu setiap hari sebagai bunga. Itu pun utang pokoknya yang lima juta tidak dihitung berkurang. Sementara hasil memulung setiap hari paling banyak lima puluh ribu. Kadang-kadang hanya tiga puluh ribu.

Kalau Jaka tidak membayar bunga pinjamannya, bisa-bisa bunga itu berbunga dan berbunga lagi menjadi semakin banyak. Mak Ros punya anak buah preman yang kapan saja bisa mengancam dan mengintimidasinya.

Jaka bisa apa? Ia terlalu takut untuk melawan. Bukankah orang kecil tak punya kuasa untuk melawan orang besar?

"Woi, melamun aja. Nanti kesambet." Herman menepuk pundak Jaka, lalu duduk di sampingnya.

Herman adalah seorang penjual sayuran di Pasar Pagi. Kerap kali ia memberi Jaka sayuran yang sudah tidak terlalu segar, tapi masih bisa dimasak dan dikonsumsi.

"Udin minta pizza lagi, Bang," keluh Jaka.

"Terus?" tanya Herman.

"Uangku nggak pernah cukup." Jaka menerawang, menatap langit dengan pandangan kosong. Ada sebuah harapan yang ia panjatkan ke atas sana. Harapan yang sepertinya mustahil terjadi, semoga ada pizza jatuh dari langit.

"Segitu cintanya kau sama Udin, Jak," cetus Herman. "Padahal dia bukan anak kandungmu."

"Bang, anak kandung atau bukan apa bedanya? Udin anakku. Titik!" tegas Jaka. "Aku mencintainya. Nyawaku pun akan kukorbankan untuknya."

Ditariknya nafas panjang-panjang, lalu dihembuskannya panjang juga.

"Bahkan  orang tua kandungnya tak menjemputnya sampai sekarang," sambungnya lagi.

"Iya ... iya, maaf. Ini pakai dulu." Herman menyodorkan dua lembar uang seratus ribu pada Jaka. "Buat beli pizza," ujar Herman sambil menaik turunkan alisnya, lalu mengedipkan sebelah matanya.

"Ini statusnya apa? Kalau utang nggak deh. Utangku udah banyak," tolak Jaka halus.

"Heleh, udah susah, sombong lagi." Herman menoyor kepala Jaka.

"Besok datang kesini bantuin aku jualan. Yono nggak bisa kerja besok karena anaknya sunat," pungkas Herman.

Ia tahu walaupun Jaka orang susah, tapi ia tidak pernah mau menerima uang dengan cuma-cuma.

Seketika mata Jaka berbinar. Akhirnya impian Udin untuk makan pizza segera terwujud.

"Terima kasih, Man," ucap Jaka.

"Iya, sama-sama. Udah pergi sana beli pizza-nya biar Udin senang.

***

Jaka lari tergopoh menuju restoran pizza. Satu tangannya memegang karung tempat botol-botol plastik yang dikumpulkannya. Satu lagi memegang uang dua ratus ribu dari Herman.

Saking semangatnya berlari, sampai-sampai tali sandalnya sebelah kiri copot, tapi ia tak peduli.

Dilepasnya begitu saja sandal itu lalu berlari kembali menuju restoran pizza.

Pegawai restoran membuka pintu untuk Jaka. Senyum yang tadinya sudah mengembang untuk menyambut tamu perlahan terurai. Wanita cantik berbadan semampai memakai seragam abu-abu itu memandang Jaka dari rambut sampai ke kaki.

Bukan maksudnya memandang rendah pada Jaka. Tapi penampilan Jaka memang menjadi perhatian orang-orang yang ada di sana.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" Si pegawai mengulas senyum kembali.

"Anu mbak ... saya mau beli pizza." Jaka menyodorkan uang dua ratus ribu.

"Silahkan ke meja pemesanan, Pak. Biar saya bantu."

Jaka menurut saja.

"Bapak mau pizza varian dan ukuran apa?" tanya pegawai begitu mereka sudah di meja pemesanan. Disodorkannya buku menu pada Jaka.

"Saya nggak ngerti, Mbak. Mbak saja yang pilihkan, secukupnya uang ini saja. Untuk ulang tahun anak saya, Mbak."

"Berapa kotak, Pak?"

"Satu kotak saja."

Pegawai itu tersenyum, kemudian ia memilihkan pizza ukuran reguler dengan topping daging sapi, sosis, jamur, paprika dan keju mozzarella. Dikembalikannya selembar lagi uang Jaka

Senyum Jaka merekah. Ia melangkah keluar restoran dengan sekotak pizza di tangannya kanannya. Karung tempat botol plastik menggantung di punggungnya.

Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang. Bahkan ia tak peduli hanya memakai sebelah sandal saja. Hatinya terlalu bahagia. Setelah sekian lama, permintaan Udin bisa diwujudkannya. Di hari ulang tahunnya pula. Seketika terbayang senyum bahagia Udin dalam benaknya.

Ia menyusur trotoar sambil berdendang, melantunkan syair-syair yang keluar begitu saja dari mulutnya.

"Oh Udin anakku sayang, akhirnya kau bisa makan pizza seperti Joni dan Togap. La ... la ... la ...."

Sesekali ia bersiul. Hatinya penuh dengan nyanyian kegirangan.

"Pak ... awas, Pak!" Tiba-tiba seseorang menabrak tubuh Jaka. "Menjauh, Pak. Ada geng motor tawuran. Ayo lari, Pak. Menjauh."

Jaka yang masih diliputi kebahagiaan tak mengerti dengan apa yang terjadi. Seketika di sekitarnya menjadi riuh. Orang-orang berlarian sambil berteriak.

Suara mesin dari puluhan sepeda motor memenuhi pendengaran Jaka. Ia kaget. Apalagi ada sebuah batu mendarat tepat di sampingnya. Ia tak tahu dari arah mana dan siapa sasaran lemparan batu itu.

Puluhan remaja bertengkar di jalan. Saling lempar, saling memperlihatkan senjata tajam. Saling menggeber gas sepeda motor masing-masing. Umpatan dan makian tak henti-hentinya terdengar.

Plak!

Sebuah lemparan batu mengenai kening Jaka. Ia mematung sesaat. Lemparan itu begitu tiba-tiba. Ia bahkan tak sempat mencerna rasa sakitnya, sampai darah segar mengucur dari kening sampai bibirnya.

Pandangannya gelap. Dunianya berputar. Jaka limbung, ambruk ke tanah. Kotak pizza lepas dari tangannya.

Beberapa menit kemudian suara sirene mobil polisi menggema. Dua kelompok geng motor yang tawuran tadi langsung membubarkan diri. Semuanya berhamburan. Salah satu diantara mereka melajukan motornya dengan cepat. Tak lagi memperhatikan sekitar, ia melintas tepat di samping Jaka. Melindas kotak pizza.

Pizza milik Udin hancur.

***

Jaka diantar pulang oleh polisi. Luka di keningnya sudah diobati di pos polisi setelah dimintai keterangan atas peristiwa tawuran tadi.

Tentu saja Udin dan Rumi histeris melihat keadaan Jaka, apalagi ia diantar oleh aparat.

"Bapak kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Rumi khawatir.

"Tadi Pak Jaka mengalami kecelakaan. Ada geng motor yang sedang tawuran. Pak Jaka terkena lemparan batu nyasar. Tapi sekarang sudah baikan kok, Bu." ujar salah satu polisi pada Rumi. Lalu mereka meminta ijin kembali ke kantor untuk bertugas.

"Bapak beneran nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Rumi sambil meraba perban di kepala Jaka dan dijawab dengan anggukan oleh pria berbadan kurus itu.

Jaka segera menghampiri Udin yang mematung di samping kursi. Udin terlalu syok. Ia terkejut melihat Jaka datang bersama polisi. Dipikirnya Jaka ditangkap dan akan dimasukkan dalam penjara.

"Din ....", ucap Jaka lirih. Direngkuhnya kedua pundak Udin dengan kuat. "Bapak minta maaf."

Suara Jaka tercekat di kerongkongan.

"Bapak nggak bisa tepati janji untuk belikan Udin pizza. Pizzanya nggak ada, Din. Bapak minta maaf."

Jaka merengkuh tubuh Udin, memeluknya erat. Ia merasa gagal jadi bapak yang baik. Menjaga pizza untuk Udin pun dia tak bisa.

"Selamat ulang tahun ya, nak," sambung Jaka. Tak bisa ditahannya isak tangisnya. Ia tahu betul pasti Udin kecewa. Lama sekali ia mendekap tubuh mungil anaknya itu.

Udin mengendurkan pelukan Jaka. Digenggamnya kedua tangan ayahnya yang sudah mulai keriput itu. Lamat-lamat dipandangnya bola mata Jaka. Tatapannya nanar. Ia takut kehilangan Jaka. Butiran bening lolos dari mata jernihnya tanpa diminta.

Ia tak bersuara, tapi air matanya berbicara banyak.

"Udin nggak mau pizza lagi, Pak. Udin nggak suka pizza. Udin cuma mau Bapak."

Jaka yang sedari tadi menangis semakin terisak mendengar penuturan Udin. Begitu pun Rumi. Dihampirinya suami dan anak yang sangat disayanginya itu. Memeluk mereka dengan erat.

Sekarang Udin sadar, bukan pizza yang membuatnya bahagia, tapi kehadiran Jaka dan Rumi dalam hidupnya.

#Cerpen
----------------------------

Ditulis pada 21 Februari 2024.

Pizza untuk Udin
Penulis: Kiki Olivia Panjaitan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun