Herman adalah seorang penjual sayuran di Pasar Pagi. Kerap kali ia memberi Jaka sayuran yang sudah tidak terlalu segar, tapi masih bisa dimasak dan dikonsumsi.
"Udin minta pizza lagi, Bang," keluh Jaka.
"Terus?" tanya Herman.
"Uangku nggak pernah cukup." Jaka menerawang, menatap langit dengan pandangan kosong. Ada sebuah harapan yang ia panjatkan ke atas sana. Harapan yang sepertinya mustahil terjadi, semoga ada pizza jatuh dari langit.
"Segitu cintanya kau sama Udin, Jak," cetus Herman. "Padahal dia bukan anak kandungmu."
"Bang, anak kandung atau bukan apa bedanya? Udin anakku. Titik!" tegas Jaka. "Aku mencintainya. Nyawaku pun akan kukorbankan untuknya."
Ditariknya nafas panjang-panjang, lalu dihembuskannya panjang juga.
"Bahkan  orang tua kandungnya tak menjemputnya sampai sekarang," sambungnya lagi.
"Iya ... iya, maaf. Ini pakai dulu." Herman menyodorkan dua lembar uang seratus ribu pada Jaka. "Buat beli pizza," ujar Herman sambil menaik turunkan alisnya, lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Ini statusnya apa? Kalau utang nggak deh. Utangku udah banyak," tolak Jaka halus.
"Heleh, udah susah, sombong lagi." Herman menoyor kepala Jaka.