Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kiprah Perempuan dalam Upaya Percepatan Penurunan Prevalensi Stunting

28 November 2023   12:38 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:09 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2023 sudah di penghujung bulan, itu tandanya segera tiba tahun 2024. Berjuta impian negara Indonesia mengentaskan berbagai problema tanah air salah satunya yaitu menargetkan percepatan penurunan prevalensi stunting.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 hari pertama kehidupan. Anak stunting ditandai tinggi badan anak lebih pendek dari standar anak seusianya.

Sedangkan, prevalensi stunting adalah jumlah keseluruhan permasalahan stunting yang terjadi pada waktu tertentu di sebuah daerah dalam hal ini adalah Indonesia.

Pemerintah telah menargetkan prevalensi stunting menjadi 14% tahun 2024.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting nasional pada tahun 2022 sebesar 21,6%. Untuk mencapai target 14%, maka pemerintah menargetkan untuk dapat menurunkan prevalensi stunting 3,8% per tahunnya sampai tahun 2024.

Hal demikian berarti diharapkan prevalensi stunting nasional pada tahun 2023 berada pada kisaran 17,8%, sehingga prevalensi stunting nasional pada tahun 2024 terwujud sebesar 14% sesuai dengan target percepatan.

Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil SSGI pada Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), (Rabu, 25/01/23) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022.

Berdasarkan hasil SSGI tersebut berarti Indonesia telah menurunkan prevalensi stunting 2,8% di tahun 2022. Jika pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 3,8% per tahunnya, maka Indonesia harus memperjuangkan penambahan persentase penurunan prevalensi sebesar 1% dari tahun sebelumnya untuk tahun 2023 dan 2024.

Masih berkaitan dengan data lagi, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi stunting pada tahun 2018 mencapai 30,8%. Pada tahun tersebut Indonesia merupakan negara dengan beban stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.

Meskipun Indonesia saat  ini telah mengurangi angka stunting pada tahun lalu, masih banyak yang harus dilakukan untuk mencapai target pada akhir tahun 2024.

Urgensi Penanganan Stunting

Presiden RI Joko Widodo merancang strategi Republik Indonesia (RI) menjadi negara maju di 2030. Untuk menjadi negara maju dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Lebih lanjut, Jokowi menyampaikan bahwa stunting bukan hanya urusan tinggi badan tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis.

Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme.

Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual. Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada produktivitas saat dewasa. Selain itu, kekurangan gizi juga menyebabkan gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, jantung koroner dan stroke.

Hasil penelitian SEANUS (South East Asian Nutrition Surveys) 2017 menyatakan bahwa stunting : (1) bukan faktor genetik, (2) berhubungan dengan kecerdasan, (3) mempengaruhi aktivitas anak, (4) berkaitan dengan emosional, (5) timbulnya gangguan body mass index (BMI).

Penyebab tidak langsung masalah stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.

Dalam tulisan ini penulis akan membahas kiprah perempuan sebagai perwujudan pemberdayaan perempuan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting di Indonesia.

Mengingat penulis adalah seorang wanita (perempuan) sekaligus ibu dari seorang balita yang dekat dengan serba-serbi permasalahan stunting di lingkungan tempat tinggal.

Penulis mulai menaruh perhatian masalah stunting karena melihat kondisi di lapangan yang penulis alami, hadapi, dan amati berdasarkan pengalaman, yakni : (1) melihat berat badan anak penulis yang selisih 6 kilogram dengan teman sebayanya dengan perawakan tinggi berisi, (2) melihat teman sebayanya yang harus terapi karena speech delay atau mungkin late talker karena kosakatanya masih terbatas, (3) melihat anak tetangga yang seumuran dengan anak penulis namun berat badannya kurang bahkan bulan lalu dikunjungi oleh tenaga kesehatan dan kader posyandu tempat tinggal penulis.

Penulis mencari tahu dan membaca berbagai pemberitaan yang berkaitan dengan stunting di media sosial, berbagai website kementerian, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, beberapa pengalaman yang penulis sampaikan di atas ternyata tidak terlepas dari pembahasan stunting.

Kiprah Perempuan

Berbicara tentang perempuan, definisi perempuan memiliki ruang lingkup yang luas. Bisa saja anak perempuan, remaja perempuan, aktivis perempuan, wirausaha perempuan, akademisi perempuan, jurnalis perempuan, dan masih banyak lagi.

Perempuan sebagai salah satu anggota keluarga mempunyai tugas dan fungsi dalam mendukung kehidupan keluarga. Perempuan yang penulis sebutkan di atas, semuanya akan bermuara pada satu yakni kiprahnya sebagai seorang ibu.

Oleh karenanya, peran perempuan sangat besar dalam tekan stunting baik pra pernikahan, masa kehamilan, persalinan, dan perawatan ibu dan bayi.

Menilik kembali faktor penyebab stunting, diantaranya : (1) kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya mengawal 1000 HPK, (2) ibu hamil dengan Lingkar Lengan Atas (Lila) < 21,5 cm karena kurang Energi protein Kronis (KEK), (3) pemberian ASI yang tidak eksklusif dan tidak benar, (4) pemberian MPASI kurang tepat (waktu, jenis, jumlah), (5) pengukuran antropometri yang kurang tepat dan tidak rutin.

Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut, pentingnya kiprah perempuan dalam hal ini adalah aktivitas perempuan melalui tindakan-tindakan evaluasi dan berbenah dalam upaya mengatasi stunting meliputi remaja putri (pranikah), ibu hamil, dan ibu.

1. Remaja Putri

Remaja adalah calon orang tua di masa yang akan datang. Kelak remaja mempunyai peran besar dalam mewujudkan generasi-generasi berkualitas di masa yang akan datang.

Perencanaan keluarga oleh remaja sebelum masuk ke jenjang pernikahan belum semua menerapkan. Masih ada remaja yang menikah di bawah usia ideal (perempuan 21 tahun dan laki-laki 25 tahun), yang secara mental dan finansial belum siap, termasuk belum adanya kesiapan menjadi orang tua yang harus bertanggung jawab mendampingi tumbuh kembang anak yang dilahirkan agar berjalan optimal.

Dengan demikian, salah satu kelompok yang patut dan tepat disasar agar berperan dalam pencegahan stunting adalah remaja. Remaja merupakan kelompok potensial yang bisa dilibatkan dalam program pencegahan stunting meliputi perencanaan keluarga, pengetahuan tentang pola gizi seimbang, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR), dan pengasuhan 1000 HPK.

Kurangnya pengetahuan remaja sebagai calon orang tua tentang pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dapat meningkatkan risiko anak yang dilahirkan kelak mengalami gangguan pertumbuhan hingga stunting.

Pentingnya remaja putri untuk mendapatkan pendidikan parenting juga pemahaman akan pentingnya penerapan makan dengan pola gizi seimbang terutama di usia 16 tahun ke atas.

Pada tahun 2019, satu dari 9 anak perempuan menikah sebelum berumur 18 tahun salah satu alasannya karena tidak punya biaya pendidikan. Ibu yang hamil pada usia di bawah 20 tahun meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak.

Ada beberapa hal yang perlu direncanakan oleh remaja sebelum masuk ke jenjang pernikahan, antara lain : usia ideal menikah (21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki), sehat baik jasmani maupun rohani, kesiapan mental, juga kesiapan finansial/ekonomi.

Stunting adalah sebuah siklus. Jika calon ibu punya asupam gizi kurang sejak remaja, ia berisiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan siklus tersebut akan terus berlanjut. Para remaja diharapkan dapat menerapkan gaya hidup sehat seperti mencuci tangan pakai sabun, berolah raga, memantau berat badan, dan minum air putih 8 gelas setiap hari.

2. Calon Ibu (Ibu Hamil)

Makanan yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah makanan bergizi diiringi penambahan jumlah kalori seiring bertambahnya usia kehamilan agar calon ibu dan janin tetap sehat.

Ibu hamil sebaiknya memeriksakan kehamilan pada bidan ataupu dokter minimal 4 - 6 kali selama masa kehamilan meliputi konsultasi kesehatan, penimbangan berat badan berkala, juga USG. Jika tidak, hal ini dapat mempengaruhi kesehatan janin, dan berdampak akan kondisi kesehatan bayi yang akan dilahirkan atau berisiko bayi lahir stunting.

Masih ada beberapa ibu yang ASI-nya tidak cukup zat besi karena ibu mengalami anemia oleh karena itu pentingnya kesadaran Ibu hamil minum kapsul Fe (penambah darah), asupan asam folat, dan vitamin D selama masa kehamilan karena ibu hamil rentan mengalami anemia atau kekurangan sel darah merah yang dampaknya tidak baik bagi pertumbuhan janin.

Satu lagi yang tidak kalah penting, para ibu hamil dianjurkan untuk menjarakkan kehamilan minimal selama 2 tahun untuk mencegah timbulnya defisiensi zat besi selama kehamilan.

Bila perlu, ibu hamil hadir dalam konseling dan perawatan kehamilan. Konseling sangat membantu ibu hamil dalam konsultasi psikologi serta cara perawatan kehamilan yang benar.

3. Seorang Ibu

Ibu yang memiliki balita sangat berperan dalam mencegah terjadinya bayi stunting terutama pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Ibu memiliki peran utama dalam pencegahan stunting dalam lingkup terkecil yakni keluarga.

Dimulai dari masa menyusui, seorang ibu harus rutin hadir dalam Posyandu, kemudian juga melakukan perawatan nifas (termasuk bayinya) oleh bidan atau dokter. Ibu harus melakukan imunisasi lengkap setiap bayi di atas 12 bulan, dan Ibu yang memiliki bayi 0-2 tahun setiap bulan mengikuti kegiatan pengasuhan balita dan pemenuhan gizi minimal satu bulan satu kali.

Beberapa hal pula yang harus menjadi perhatian penuh seorang ibu dalam pencegahan stunting adalah berkaitan dengan pola makan, pola asuh, sanitasi, dan literasi tinggi.

1. Pola makan

Tugas seorang ibu tidak hanya membuat makanan yang mengenyangkan, tetapi juga memastikan makan teratur, tubuh sehat dan cukup gizi karena stunting dimulai dari anak sakit berulang, sulit makan, berat badan seret, tinggi badan mandeg.

Gambar poster isi piringku (sumber: kesmas.kemkes.go.id)
Gambar poster isi piringku (sumber: kesmas.kemkes.go.id)

Isi Piringku merupakan program bagi masyarakat dalam memahami bagaimana porsi makan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan gizi. Isi Piringku adalah pengganti konsep 4 Sehat 5 Sempurna. Konsep lama tersebut kini tidak lagi mengakomodasi pemenuhan gizi seimbang. Selain menerapkan Isi Piringku, masyarakat juga diharapkan mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak.

Porsi Isi Piringku terdiri makanan pokok yakni sumber karbohidrat dengan porsi 2/3 dari 1/2 piring. Lalu dilengkapi dengan lauk pauk dengan porsi 1/3 dari 1/2 piring. Untuk setengah piring lainnya diisi dengan proporsi sayur-sayuran dengan porsi 2/3 dan buah-buahan dengan porsi 1/3.

Protein hewan berkontribusi terhadap tinggi badan anak. Jika menilik ke luar negeri, Korea Utara menggalangkan konsumsi satu telur per hari dan Jepang meningkatkan gizi rakyatnya dengan konsumsi ikan.

2. Pola asuh berkaitan erat dengan pengasuhan berkualitas. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman keluarga dalam pola asuh berperan penting untuk pencegahan stunting dan mempersiapkan anak agar tumbuh kembang optimal menjadi generasi maju.

Pentingnya pola asuh seperti pemberian kolostrum (asi yang pertama kali keluar), inisiasi menyusui dini (IMD), pemberian asi eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan, dan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) menu 4 bintang secara tepat untuk bayi di atas 6 bulan hingga 2 tahun.

3. Sanitasi meliputi penyediaan air bersih, sarana jamban keluarga, sarana pembuangan sampah, dan sarana pembuangan air limbah. Melakukan perilaku hidup bersih dan sehat serta tidak mengabaikan kebersihan peralatan makan dan minum.

4. Literasi tinggi

Literasi atau kemelekan adalah istilah umum yang merujuk kepada serangkaian kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dalam hal ini, seorang ibu harus melek literasi dengan rajin mencari informasi dari berbagai sumber.

Kader Posyandu

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menyediakan layanan kesehatan mulai untuk Balita, remaja, hingga lansia. Posyandu memegang peranan penting dalam memantau kesehatan, serta tumbuh kembang para Balita di lingkungan sekitar.

Kader-kader Posyandu yang mayoritas adalah perempuan ibu rumah tangga menjadi tenaga pelaksana di lapangan. Namun, di wilayah tertentu ternyata ada juga kader laki-laki. Mereka memiliki jiwa sosial tinggi dan rela meluangkan waktu dan mengeluarkan banyak tenaga untuk melakukan pelayanan di Posyandu.

Kader posyandu terdiri dari kader terlatih dan kader belum terlatih. Kader yang sudah terlatih artinya memang sudah mendapatkan pelatihan tersendiri. Mulai dari pelaksanaan Posyandu misalnya bagaimana cara melakukan pengukuran tinggi dan berat badan, pelaporan, dan sebagainya. Para kader sudah dibekali berbagai ilmu sehingga pemantauan tumbuh kembang anak menjadi akurat.

Sementara untuk kader belum terlatih, memang yang belum benar-benar mendapatkan pelatihan. Mereka bisa belajar lewat teman-teman yang memang sudah mendapatkan pelatihan.

Para kader posyandu dituntut untuk benar-benar multifungsi. Mereka dituntut untuk serba bisa sehingga ketika ditempatkan di salah satu di antara 5 meja yang ada di Posyandu, mereka sudah menguasai dan merasa tidak kesulitan lagi. Sehingga seorang ibu harus memantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat.

Dukungan tenaga terlatih dalam penurunan jumlah kasus sangat penting dalam upaya mengakselerasi pencapaian target prevalensi stunting di tanah air. Dengan melibatkan tenaga kesehatan yang terampil dalam mendeteksi kecukupan gizi anak dan balita.

Tenaga kesehatan adalah orang-orang yang secara profesional memberikan pelayanan kesehatan setelah menempuh pendidikan dan pelatihan formal dalam disiplin ilmu tertentu misalnya dokter, dokter gigi, apoteker, tenaga teknis kefarmasian, perawat, fisioterapis, bidan, psikolog klinis, ahli kesehatan masyarakat, dan sebagainya. 

Sebagai penutup, penulis sampaikan kesimpulan dari tulisan bahwa stunting bukan penyakit genetik yang diturunkan namun bersifat epigenetik (ada pemicunya). Penanganan stunting tidak terus-menerus menyoal urusan gizi, tapi juga sanitasi, imunisasi, eradikasi infeksi, edukasi keluarga, dan sebagainya. Upayakan anak tumbuh di lingkungan yang menunjang pertumbuhannya.

Kiprah perempuan dalam tulisan ini adalah kiprah remaja putri (pra pernikahan), calon ibu, ibu, dan kader posyandu yang melibatkan tenaga kesehatan sangat berpengaruh sebagai garda terdepan pencegah stunting dan harus saling bersinergi untuk mewujudkan generasi bebas stunting bersama dengan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun