Ketidakpercayaan kemampuan masyarakat adat dan desa membangun dan mengelola kelembagaan ekonomi adalah keniscayaan. Pola pendekatan sistematis-politis terus diupayakan dengan cara mengkreasi skenario ketergantungan mereka.
Sejarah beradaban manusia mencatat, eksistensi dan resiliensi masyarakat adat dan desa beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit harus dihadapi untuk bertahan hidup, mereka jalani dengan strategi survivalnya.
Evaluasi hingga skema solusi yang ditawarkan, skenario dan solusi rumusan berbasis daur ulang masalah, dengan kecenderungan dipaksakan, meskipun masyarakat adat dan desa mampu melakukan sendiri.
Stigma ketidakmampuan masyarakat adat dan desa terus digaungkan dengan dalih kampanye dan advokasi kebijakan, hingga masyarakat adat dan desa bergantung kepada institusi tertentu (pemerintah, OMS, swasta/BUMN) berlangsung permanen.
Ketika praktik politik demikian terus berlangsung, maka cita-cita terbentuk “ketahanan organisasi berbasis kelembagaan ekonomi” masyarakat adat dan desa yang ingin mengajukan izin pengelolaan pertambangan rakyat secara mandiri, tidak akan pernah terwujud. Mental bergantung telah mendominasi kebiasaan mereka, karena semangat kemandirian direduksi.
Sementara, potensi sumberdaya alam yang ada disekitar wilayah kelola hidupnya sangat melimpah, salah satunya berupa potensi tambang (Emas, Batubara, Nikel, intan) yang memungkinkan dikelola untuk mengangkat derajat dan kesejahteraan ekonomi mereka
Pertambangan rakyat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kegiatan sebagai berikut (a) Pertambangan Mineral logam, (b) Pertambangan Mineral bukan logam, atau (c) Pertambangan batuan sebagaimana ketentuan Pasal 66 UU.No.3/2020.
Pertanyaannya kemudian, apakah memang masyarakat adat dan desa tertutup peluang atas hak politisnya mendapat izin usaha pertambangan rakyat (IUPR) ?
Munculnya keinginan masyarakat adat dan desa mendapat IUPR, patut menjadi wacana kewirausahaan sosial. Keraguan eksistensi organisasi dan kelembagaan ekonomi yang rentan dan rawan konflik internal, merupakan stigma dan tindakan pembodohan mengkebiri inisiatif dan kreatifitas sosial masyarakat adat dan desa.
Apabila praktik tambang rakyat mendapat penyuluhan, pengakuan dan legalisasi izin kelola, maka dampak potensi kerusakan lingkungan bisa dihindari dan ditekan sekecil mungkin, ada konsekwensi hukum yang dipatuhi dan tanggung jawab terhadap dampaknya (social-ekonomi, budaya).
Idiologisasi Skenario Dan Praktik Pertambangan Rakyat
Mereduksi stigma negatif yang terlanjur permanen, tidak ada cara lain, selain idiologisasi kepada masyarakat adat dan desa. Idiologisasi “strategi dan proses tahapan pengelolaan pertambangan rakyat secara sistematis, gradual dan paripurna” menerapkan tehnologi ramah lingkungan.
Komunitas masyarakat adat dan desa mampu menjaga/melindungi wilayah desa dan areal kelola tambang dari serbuan masyarakat luar dan para investor hanya demi mementingkan keuntungan, pungutan liar oknum aparat keamanan dan aparat sipil negara (ASN), hingga praktik pemerasan.
Secara politik-hukum, warga negara yang mampu memenuhi tahapan proses dan persyaratan sesuai peraturan perundangan, berhak mengelola sumberdaya alam (baca: potensi tambang) sebagaimana mandat UUD 1945 maupun peraturan perundangan turunannya.
Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU.No.4/2009 yunto UU.No.3/2020 menyebutkan, “Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas”.
Argumentasi dan jastifikasi hukum yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat adat dan desa atas hak poltiknya mengelola usaha pertambangan rakyat dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kehidupan ekonominya adalah ketentuan Pasal 1 angka 28 UU.No.3/2020.
Material ketentuan Pasal 1 angka 28 UU.No.3/2020 menyebutkan “Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya”.
Penegasan atas ketentuan di atas, diperkuat ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf b UU.No.3/2020 yang menyebutkan “IPR diberikan oleh Menteri kepada koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat”. Klausul ini merupakan peluang politis yang harus/bisa diperjuangkan masyarakat adat dan desa.
Tafsir politik paparan di atas, memberi peluang pertama dan utama bagi masyarakat adat dan desa menjadi pihak pengelola. Sedang pihak pemerintah, secara politik berkewajiban memberi penyuluhan melalui cara dan pendekatan tertentu kepada masyarakat adat dan desa.
Kegiatan penyuluhan pemerintah, terkait berbagai informasi, pengetahuan dan wawasan serta persyaratan hingga prosedur perizinan pengelolaan pertambangan rakyat. Secara politik, masyarakat adat dan desa berhak tau dan mendapat kesempatan dan peluang secara adil.
Materi penyuluhan yang disampaikan mencakup beberapa hal mendasar sebagai berikut:
- apa yang dimaksud pertambangan rakyat?
- persiapan apa saja yang dilakukan masyarakat adat/desa mengelola pertambangan rakyat?
- persyaratan dan proses tahapan apa saja yang dipenuhi masyarakat adat dan desa memperoleh IUPR?
- peraturan perundangan apa saja yang mengatur dan membolehkan masyarakat adat dan desa diizinkan mengelola pertambangan rakyat?
- kesepakatan (aspek lingkungan) apa saja yang dilakukan masyarakat adat dan desa terhadap areal kelola pertambangan rakyat?
- kesepakatan (aspek sosial-budaya-ekonomi) apa saja yang dilakukan masyarakat adat dan desa terhadap lingkungan wilayah adat dan desa?
- Kontribusi (aspek sosial-budaya-ekonomi) apa saja yang diberikan masyarakat adat dan desa kepada pemerintah desa dan atau lembaga adat setelah mengelola pertambangan rakyat?
- kontribusi (aspek hukum-politik) apa saja yang diberikan masyarakat adat dan desa kepada pemerintah pusat dan daerah setelah diberi izin usaha pertambangan rakyat?
Target capaian kegiatan penyuluhan, memastikan masyarakat adat dan desa mengetahui dan memahami hak dan tanggung jawab politik sesuai peraturan perundangan, dan persiapan sosial yang dilakukan, sehingga kerusakan lingkungan, kerentanan sosial dan konflik internal bisa diantisipasi sedini mungkin.
Tahapan Proses Legalisasi Pertambangan Rakyat
Berdasarkan literatur pertambangan rakyat, selalu dituliskan soal penderitaan dan kemiskinan komunitas masyarakat yang berprofesi sebagai penambang. Julukan penambang liar (PETI) seakan akrab dan nampak biasa bagi kalangan masyarakat luas.
Eksistensi penambang rakyat yang posisinya terpinggirkan secara struktural, secara politis tidak boleh ada praktik pembiaran pihak pemerintah. Kewajiban mengangkat derajat dan kemartabatan (sosial-ekonomi-budaya) mereka, secara hukum diakomodir peraturan perundangan.
Tahapan proses legalisasi pertambangan rakyat sebagaimana peluang berdasarkan ketentuan peraturan perundangan, adalah sebagai berikut :
- Penyiapan Sosial Komunitas Masyarakat Adat/Desa
Proses penyiapan sosial komunitas masyarakat adat dan desa merupakan tahapan awal paling menentukan memperoleh IPR. Indikator paling penting, bagaimana cara menumbuhkan kepercayaan, keyakinan, dan komitmen bersama (pengurus dan anggota koperasi) memahami konsekwensi logis-politis yang dihadapi.
Keterbukaan, ketegasan, kesediaan menyampaikan pendapat, harapan dan cita-citanya secara konsisten dan konsekwen, berikut dukungan pendanaan secara swadaya dari komunitas masyarakat adat dan desa, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Dengan cara demikian, akan menumbuhkan rasa memiliki dan mampu bersikap tegas terhadap siapa saja yang berupaya merongrong dan menghancurkan institusi payung (baca: koperasi) maupun cita-cita yang akan direalisasikan.
- Pembentukan Koperasi
Pembentukan koperasi menjadi wajib bagi komunitas masyarakat adat dan desa untuk mendapat izin kelola pertambangan rakyat. Persyaratan hukum ini sesuai mandat Pasal 67 ayat (1) huruf b UU.No.3/2020 yang menyebutkan “IPR diberikan oleh Menteri kepada koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat”.
Konsekwensi hukum sebagaimana ketentuan di atas, mengharuskan komunitas masyarakat adat dan desa harus menyiapkan dan membentuk koperasi sebagai institusi payung penanggung jawab pengelolaan tambang rakyat.
Untuk dipahami, membangun dan menjadikan koperasi akuntable dan profesional tidak bisa secara instan. Butuh transformasi pengetahuan dan pemahaman secara simultan mengenai azas, maksud dan tujuan dari koperasi, sehingga seluruh anggotanya mengerti dan memahaminya dengan baik untuk keberhasilan meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya.
- Penyiapan Kelengkapan Persyaratan Izin Pertambangan Rakyat
Paska terbentuknya koperasi, tahap selanjutnya melakukan penyiapan beberapa syarat untuk memperoleh izin kelola tambang rakyat.
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU.No.3/2020 menyebutkan “Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan Usaha Pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial”, yang ketentuan di atur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Meskipun ketentuan Pasal 174 UU.No.3/2020, menyebutkan “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku”, yaitu pada tanggal 10 Juni 2020, diduga perubahan klausul yang termaktub dalam PP penggantinya nanti tidak terlalu signifikan dengan ketentuan yang diatur PP.No.23/2010.
Jikalau mengacu PP sebelumnya, ketentuan Pasal 3 huruf (c) PP.No.23/2010 menyebutkan “persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a) untuk koperasi setempat, paling sedikit meliputi (1) surat permohonan, (2) NPWP, (3) akta pendirian koperasi yang telah disyahkan oleh pejabat berwenang, (4) komoditas tambang yang dimohonkan, dan (5) surat keterangan dari kelurahan/desa setempat”.
Sedangkan untuk kelengkapan persyaratan finansial, ketentuan Pasal 48 ayat (5) PP.No.23/2010 menyebutkan “persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa laporan keuangan 1 tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat”.
Selain menyiapkan kelengkapan persyaratan diatas, pengurus beserta seluruh anggota koperasi harus memahami dan mengantisipasi beberapa kewajiban setelah memperoleh izin pertambangan sebagaima amanat Pasal 70 UU.No.3/2020.
Kewajiban sebagaimana ketentuan Pasal 70 UU.No.3/2020 menyebutkan bahwa pemegang IPR wajib:
- melakukan kegiatan Penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;
- mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan Pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;
- mengelola lingkungan hidup bersama Menteri;
- membayar iuran Pertambangan rakyat; dan,
- menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat secara berkala kepada Menteri.
Terkait seluruh kewajiban di atas, masyarakat adat dan desa tidah perlu khawatir karena ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU.No.3/2020 menyebutkan “Menteri melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi Pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan IPR”.
Tafsirnya bisa berarti bahwa secara politik pihak pemerintah bertanggung jawab melakukan pembinaan, pendampingan, hingga mencarikan solusinya jika ada masalah yang dihadapi masyarakat adat/desa dalam proses pelaksanaannya.
Selain itu, pemerintah juga tunduk melakukan kewajibannya sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (2) UU.No.3/2020 yang menyebutkan “Menteri bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah teknis pada IPR yang meliputi (a) keselamatan Pertambangan, dan (b) pengelolaan lingkungan hidup termasuk Reklamasi dan Pasca tambang”.
Analisis Singkat Hukum Politik
Eksistensi dan peran politis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai organisasi massa yang menaungi dan mengawal komunitas adat mempertahankan wilayah adatnya yang memiliki potensi sumberdaya tambang menjadi sangat strategis.
Kekuatan potensi modal yang tersembunyi belum tergali secara optimal, semata-mata karena kendala pihak eksternal. Stigma ketidakmampuan masyarakat adat dan desa harus dijawab dengan bukti konkrit “Program Kelola Tambang Rakyat Secara Gradual” fokus pada komunitas adat dan desa yang memiliki potensi tambang.
Kekuatan masyarakat adat dan desa, secara politik menjadi garda terdepan menjaga dan membendung terjadinya kerusakan lingkungan di wilayah mereka bermukim. Peluang kerusakan lingkungan memang bisa disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Penyebab faktor internal, karena konflik kepentingan ekonomi antar masyarakat adat dan desa, dampak praktik pecah belah pihak tertentu. Masyarakat desa dan adat tidak mampu membendung serbuan masyarakat dari luar, maupun investor dengan berbagai cara pendekatan dan tekanan secara sistematis yang dihadapinya.
Implikasinya dengan eksistensi masyarakat adat, secara ketatanegaraan Pengakuan negara atas masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-Undang”.
Dalam perspektif politik-hukum, peluang masyarakat adat dan desa memperoleh izin pertambangan rakyat sangat dimungkinkan. Proses pengajuan izin pertambangan rakyat, ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU.No.3/2020 menyebutkan “pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Menteri”.
Izin pertambangan akan diterbitkan, jika lokasi yang diajukan berada pada wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang ditetapkan sebelumnya, sebagaimana ketentuan Pasal 22A UU.No.3/2020 yang menyebutkan “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan”.
Sedangkan luas wilayah IPR untuk koperasi paling luas 10 (sepuluh) hectare yang diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun sesuai ketentuan Pasal 68 ayat (1,2) UU.No.3/2020), serta ketentuan Pasal 70A UU.No.3/2020 yang menyebutkan “pemegang IPR dilarang memindahtangankan IPR kepada pihak lain”.
Jika permohonan izin sudah disampaikan, pada prinsip Menteri tidak bisa menolak apabila lokasi yang diusulkan sudah ditetapkan sebagai WPR sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 32 UU.No.3/2020 yang menyebutkan “Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat”.
Argumen dan jastifikasi hukum-politisnya, jika kemudian Menteri menilai ada kekurangan dalam pengajuan persyaratan izin, maka menjadi tanggung jawab politik bagi pemerintah melakukan penyuluhan dan pendampingan hingga terpenuhi semua persyaratan yang wajib dilakukan masyarakat adat dan desa tempatan.
Ketentuan diatas, landasan hukumnya pasal 3 ayat (2) PP.No.23/2010 yang menyatakan “IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam WIUP untuk IUP, WPR untuk IPR, atau WIUPK untuk IUPK”, yang basis keputusannya berdasarkan Pasal 1 angka 29 UU.No.3/2020 yang menyebutkan “Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan Batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional”.
Sebagai antisipasi belum ada WPR yang diusulkan masyarakat adat dan desa, permohonan izin tetap bisa dilakukan kepada Bupati. Peluang hukum ini sesuai ketentuan Pasal 22A UU.No.3/2020 menyebutkan “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan”.
Simpulan
Peluang ekonomi dan politik tidak bisa menutup akses berusaha masyarakat adat dan desa mengajukan dan mendapat izin kelola tambang rakyat sesuai aturan hukum. Fenomena ini menjadi peluang positif-politis, meskipun bisa menjadi sumber konflik internal bila tidak disiapkan, didampingi, dan dikawal dengan baik.
Munculnya aspirasi politik komunitas masyarakat adat dam desa memperoleh IUPR, bisa dijadikan momentum dan wacana politik secara fundamental, untuk skenario alternatif menyelamatkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan secara masif, dengan keterlibatan dan legalisasi kelola tambang rakyat masyarakat adat dan desa.
Argumen dan Jastifikasi politiknya, berbasis sejarah pertambangan selama empat dasawarsa sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga orde reformasi, belum pernah tercatat “keberadaan organisasi berbasis ekonomi” masyarakat adat dan desa mengelola pertambangan rakyat yang diakui secara legal pemerintah.
Setidaknya aspirasi dan keseriusan masyarakat adat dan desa bisa menjadi bukti politis menepis keraguan dan ketidakpercayaan pihak pemerintah, atas kemampuan masyarakat adat dan desa membangun dan mengelola sebuah kelembagaan (sosial, ekonomi, politik) yang kuat, profesioanal, transparan dan akuntable.
Justru dugaan ada keraguan dan ketidak-percayaan terhadap kemampuan masyarakat mempersiapkan, mengajukan, hingga mendapatkan izin kelola tambang rakyat, menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas masyarakat adat dan desa terhadap cita-harapan yang ingin digapainya.
Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.
Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H