Mohon tunggu...
Inovasi

“Aku” di Jalan Sunyi Kota Mati

21 Oktober 2015   19:52 Diperbarui: 21 Oktober 2015   19:52 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Lima belas tahunan tenggelam dalam LCD gadget terbarunya.

Dengan terengah aku berhasil membawa tubuh wanita hamil itu ke mobil polisi yang baru saja datang. Mereka tidak segera membawanya pergi, tapi menunggu ambulans yang katanya segera datang. ”Kenapa Anda tidak dahulukan saja ibu ini ke rumah sakit?” Aku menyatakan keheranan. ”Tenaga saya lebih diperlukan di sini. Dan lagi memang tugas saya ini. Soal korban, itu tugas tenaga medis.” Polisi muda itu segera meninggalkan mobil dinasnya. Ia tampaknya mencari ”korban” yang lain.

Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yang harus ditolong. Di tempat kejadian, darah pengendara motor masih ada yang mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin aku membersihkan segera darah manusia yang membuatku selalu merinding keras dan lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan dan membersihkannya.

Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek tua tadi terjatuh lemas. Ada juga darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan karena benturan. Mungkin lantaran kaget. Darah sedikit ini tampaknya keluar dari mulutnya, entah karena penyakit apa. Tentu parah luka dalamnya.

Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yang sedikit dan tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk pada sesuatu sebelum aku mengeluarkan saputangan. Sebuah dompet tua berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dari darah itu. Dompet sang kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak dan melihat kakek masih terduduk lemas di trotoar.

Dia terluka dalam, dompet yang hilang akan membuat hatinya lebih dalam terluka. Aku refleks mengambil dompet itu dan bergerak mendekati sang kakek. Pada saat itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan, lalu ribut, lalu dua atau tiga orang mendekat. Beberapa orang lain tampak menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa menimpa punukku. Aku terjatuh.

Rasa sakit belum terasa, ketika sebuah kaki dengan keras menghajar pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, kuping, selangkangan, tulang kering, entah mana lagi bagian tubuh yang tidak terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa datang lagi, dalam rombongan agak besar.

Terasa ada sebuah tangan yang merenggut dompet di tanganku. Tapi hantaman itu tidak berhenti. Darah keluar dari lubang-lubang seputar kepala. Aku mulai merasa atas dan belakang kepalaku berdenyut. Bumi berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, melihat darahku sendiri. Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras sudah membantuku.

Tubuhku beku dan merasa sunyi. Mataku mati.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun