Mohon tunggu...
Inovasi

“Aku” di Jalan Sunyi Kota Mati

21 Oktober 2015   19:52 Diperbarui: 21 Oktober 2015   19:52 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

”Mungkin itu masalahnya. Hidup yang sakral sudah mati. Hidup dunia tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran kalau di Eropa 80 persen anak muda atheis atau agnostik. Kita pun segera menuju ke situ.” Mungkin yang bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari perguruan tinggi ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dengan majalah kafe di depan matanya. Bergeming dari semua peristiwa.

”Lagakmu seperti pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun kamu harus berhitung dengan kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness woman menyambut ketus.

”Haha…kalau setiap bertindak kamu menggunakan sipoa, seharusnya kamu jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum nyinyir tanpa menyingkap majalah di mukanya.

”Anak muda sok begini yang bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.

”Waktu di zaman seperti ini memang macam kaus kodian, tidak lentur, membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yang bisa lepas dari kaus kodian? Apalagi hanya dengan membaca.” Seorang pria setengah tua, seperti memberi argumen yang membela rekan wanita bisnis sekaligus menyergap pikiran sang mahasiswa.

”Hahaha….” sekonyong pria dengan mild tertawa. Di saat yang sama, pemuda yang tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas dan duduk di mejanya. Semua diam memandang pemuda itu yang segera kembali ke mejanya dan cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung pelatuk di kaca rayban.

Sirene yang meraung menjadi monolog di kafe itu.

”Mengapa sih kamu kalau nyupir selalu terlalu dekat dengan mobil di depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dengan tajam ke wajah lelaki di sebelahnya yang masih kosong menatap ke depan.

”Sudah tahu mobil ini baru mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras lagi. Pasti bonyok. Memangnya kamu punya anggaran untuk ke bengkel, di akhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yang sangat tidak puas bahkan pada kata-katanya sendiri.

Lelaki agak tua di sebelahnya masih terpaku.

”Kenapa bengong kaya macan mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah mobil kita? Siapa yang harus bayar perbaikannya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun